jangan dilihat hanya dari kacamata Jakarta saja
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi minta pemerintah meninjau langsung problematika di daerah sebelum mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

“Problematika kesehatan di Indonesia jangan dilihat hanya dari kacamata Jakarta saja, butuh melihat dan terjun langsung ke lapangan, supaya regulasi yang kita buat benar-benar bermanfaat untuk masyarakat,” kata Adib pada diskusi RUU Kesehatan IDI yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan dokter dan tenaga kesehatan adalah pihak-pihak yang selama ini terjun langsung ke masyarakat dan memahami problematika kesehatan yang ada baik di daerah maupun di pusat.

“Problematika kesehatan di Jakarta belum tentu sama dengan problematika yang ada di Nusa Tenggara Timur atau Papua, sehingga penyelesaiannya butuh langkah-langkah kearifan lokal dalam kebijakan, dan di sinilah peran serta pemerintah, perlunya penguatan regulasi,” katanya.

Menurutnya dalam membuat kebijakan, pemerintah tidak bisa membuat intervensi yang sama dengan negara lain.

“Negara kita sangat berbeda dari segi demografis dan geografis, kultur dan bahasanya juga beraneka ragam, sehingga perlu ada kebijakan-kebijakan yang melihat aspek di daerah,” ujar dia.

Menurut Adib, masih ada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang belum dijalankan secara tepat, sehingga pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk mengesahkan RUU Kesehatan.

“Undang-Undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan belum jalan, kemudian ada Peraturan Pemerintah no. 47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, juga belum jalan, permasalahannya masih tercampur antara public goods dan private goods,” katanya.

Ia memaparkan selama ini pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan pusat layanan kesehatan (pusyankes) masih berdiri sebagai dua entitas yang berbeda, padahal keduanya bisa saling berkolaborasi dalam mewujudkan transformasi kesehatan di daerah yang memadai.

“Selama ini puskesmas hanya didorong sebagai upaya kuratif (pengobatan), fitrahnya harus dikembalikan menjadi pusat kesehatan masyarakat, polanya bisa pembagian tugas dengan pusyankes, jadi keduanya bisa saling mereposisi, saling mendukung dalam upaya promotif, preventif, tetapi kuratifnya juga jalan,” tutur dia.

Dia menjelaskan, apabila pemerintah ingin mendorong ada pusat pelayanan kesehatan dari sisi kuratif, bisa diserahkan kepada masyarakat dari sektor private goods untuk menyerap lowongan atau tenaga kerja yang lebih banyak.

“Kalau mau fokus pada kuratif, bisa serahkan ke swasta, klinik praktek mandiri, dokter mandiri, karena dalam konteks tenaga kesehatan, bisa membuka lowongan lebih banyak,” ucap dia.

Untuk itu, Adib menekankan, dalam membuat kebijakan kesehatan sebagai upaya transformasi, penting untuk mendahulukan prioritas-prioritas yang belum terlaksana dalam Undang-Undang dan kebijakan di Pemerintah Daerah.
Baca juga: IDI: Proyek genome perlu kesiapan SDM dan payung hukum kuat
Baca juga: Kemenkes: Pendidikan dokter spesialis di RS didasari rencana nasional
Baca juga: Pakar: Mandatory spending kesehatan mutlak dialokasikan demi kepastian

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2023