Museum Wasaka menyajikan benda-benda peninggalan masa lalu sebagai album kenangan suatu bangsa.
Banjarmasin (ANTARA) - Mendengar kata museum, bagi sebagian orang mungkin hanya membayangkan tempat yang "jadul" alias zaman dulu sehingga tidak tertarik untuk datang mengunjunginya.

Bagi sebagian orang, mereka lebih memilih jalan-jalan ke tempat lain seperti taman rekreasi, mal, dan sejenisnya dibandingkan ke museum.

Padahal sebuah museum dengan beragam tipe dan jenisnya terkandung banyak nilai edukasi di dalamnya terutama bagi anak-anak dan remaja untuk bisa belajar menghargai sejarah dengan segala peradabannya.

Sebagaimana ujaran Bung Karno yang terkenal yaitu "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarahnya".

Oleh karena itu, keberadaan museum hakikatnya sebagai pengingat bagi generasi saat ini dan masa depan untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah karena tanpa perjuangan orang-orang dulu maka kondisi nyaman hari ini mungkin saja tidak ada.

Menyadari pentingnya museum bagi generasi bangsa, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan pun terus menjaga keberadaan museum yang sekaligus dijadikan cagar budaya.

Salah satu yang paling memiliki nilai historis yaitu Museum Waja Sampai Kaputing atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wasaka di Kota Banjarmasin.

Berdiri megah dengan bangunan rumah adat suku Banjar yakni bubungan tinggi, Museum Wasaka terletak di tepian Sungai Martapura, tepatnya di bawah Jembatan Benua Anyar, Kecamatan Banjarmasin Utara yang berbatasan dengan Kecamatan Banjarmasin Timur.
Kahfi Ansari, pemandu Museum Wasaka Wasaka menunjukkan koleksi peninggalan Brigjen TNI (Purn) Hasan Basry. ANTARA/Firman


Berada di museum ini, pengunjung disuguhkan banyaknya benda bersejarah peninggalan para pejuang di Bumi Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan ketika merebut, mencapai, mempertahankan, hingga mengisi kemerdekaan.

Tokoh utama yang dipamerkan dalam Museum Wasaka Brigjen TNI (Purn) Hasan Basry,    Pahlawan Nasional Indonesia, yang dikenal selalu merepotkan pertahanan Belanda pada masa revolusi kemerdekaan dengan puncaknya berhasil memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia yang dikenal dengan Proklamasi 17 Mei 1949 atau Proklamasi Kalimantan.

Sejumlah peninggalan sang pahlawan pun dipajang mulai seragam militer lengkap beserta tanda kepangkatannya hingga senjata yang digunakan kala berperang melawan penjajah.

Pengunjung disuguhi juga Minirama Pertempuran Bungkukan yang terjadi 13 November 1948, pertempuran dipimpin langsung Brigjen Hasan Basry selaku Panglima ALRI Divisi IV A Pertahanan Kalimantan dalam merebut pasar yang dikuasai Belanda.

Selain itu, ada pula benda-benda milik sejumlah pejuang asli tanah Banjar Kalimantan Selatan lainnya, antara lain, pancar mirah milik pejuang bergelar Pembelah Batung dari Kabupaten Hulu Sungai Utara yang digunakan pada pertempuran Kota Amuntai tanggal 28 Desember 1948.

Kemudian peluru pitunang milik orang tua dari Ibut Jagau pejuang dari Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang pada masa revolusi fisik pernah digunakan saat pertempuran Maroto.

Ada juga parang bungkul milik Bakeri bin H Husin yang pada masa revolusi berpangkat sebagai Komandan Pasukan Penggempur pada Markas R 27 b di Desa Baruh Bahinu Dalam, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan.

Berikutnya setiwal yang dikenakan dengan cara dililitkan pada bagian atas sepatu oleh pejuang bernama Bustani bin H Abdullah yang berjuang pada masa revolusi fisik di wilayah Batakan, Kabupaten Tanah Laut.

Laung atau ikat kepala turut bersama M Ruslan selaku Kepala Markas BN 10 dalam berjuang menegakkan kedaulatan Republik Indonesia pada masa revolusi fisik di Kalimantan Selatan tahun 1945 sampai 1949.

Benda ini dipercaya memiliki kekuatan magis bagi si pemakainya yaitu dapat menghilang dari pandangan musuh bahkan bisa sampai sepasukan bila saling berpegangan.

Kahfi Ansari, pemandu Museum Wasaka, mengatakan saat ini ada 425 koleksi yang dipajang baik realia (asli) dan replika (tiruan).

Terdiri atas delapan klasifikasi koleksi yakni senjata tradisional, senjata api, peralatan markas, pakaian pejuang, peralatan bengkel senjata, aneka senjata magis, alat transportasi, serta dokumen.
 
Pengunjung berfoto di depan Minirama Pertempuran Bungkukan. ANTARA/Firman


Semua miliki nilai sejarah

Bangunan yang kini dijadikan tempat Museum Wasaka awalnya merupakan rumah milik Datu Jalal, pengusaha sukses yang lahir pada akhir abad ke-18.

Rumah berbahan dasar kayu dengan tipe bubungan tinggi tersebut berdiri pada 1810, yang dibangun dengan mendatangkan pekerja dari etnis Tionghoa beragama Islam dari Singapura.

Lokasi rumah dibangun di tepi Sungai Martapura yang memang secara marwan sungai merupakan urat nadi orang Banjar, yang mana aktivitas sehari-harinya selalu berkaitan dengan sungai.

Di sinilah Datu Jalal tinggal bersama keluarga besarnya hingga wafat dan kemudian pada tahun 1988 rumah tersebut dibeli pemerintah atas masukan dari ZA Maulani (Panglima Kodam VI Tanjungpura tahun 1988-1991) terhadap ahli waris.

Sebelum difungsikan menjadi museum, griya tersebut dijadikan rumah budaya yang memberikan informasi tentang kehidupan pada periode pemerintahan HM Said sebagai Gubernur Kalimantan Selatan.

Sang Gubernur saat itu teringat aset rumah Banjar bubungan tinggi yang sudah ditebusnya, lalu mengarahkan H. Sjarifuddin agar memfungsikan bangunan itu sebagai museum dan akhirnya pada 10 November 1991 diresmikan sebagai Museum Perjuangan Rakyat Kalimantan Selatan bernama Waja Sampai Kaputing atau disingkat Wasaka.

"Waja Sampai Kaputing" adalah motto atau semboyan menggunakan bahasa Banjar yang artinya tetap bersemangat dan kuat seperti baja dari awal sampai akhir.

Kalimat ini berasal dari semboyan Pangeran Antasari, Pahlawan Nasional Kemerdekaan yang berjuang memimpin gerakan-gerakan melawan pemerintah kolonial Belanda di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Pangeran Antasari kala itu menggelorakan kalimat "Haram manyarah waja sampai kaputing" yang artinya pantang menyerah sampai titik darah penghabisan.

Saat awal museum berdiri, hanya memiliki tujuh koleksi dan setiap tahun selalu mendapatkan penambahan dari pencarian ke seluruh penjuru wilayah Kalimantan Selatan termasuk hibah dari ahli waris dari sang pejuang.

Tim Museum Wasaka melakukan verifikasi ketat terhadap setiap benda yang dikatakan memiliki nilai sejarah untuk dijadikan koleksi sehingga jika terbukti tidak ada kaitannya dengan masa perjuangan melawan penjajah maka ditolak alias tidak lolos verifikasi.
 
Pengunjung mengisi buku tamu digital di Museum Wasaka. ANTARA/Firman


Situs Geopark Meratus

Badan Pengelola Geopark Meratus di bawah arahan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor telah menetapkan Museum Wasaka menjadi situs Geopark Meratus bersama 54 situs lainnya di Kalimantan Selatan.

Berada di rute barat dengan tema "Pesona susur sungai orang Banjar" Museum Wasaka satu dari sembilan situs yang kini dijaga keberadaannya sebagai khazanah budaya bersama Pasar Terapung Lokbaintan, Kampung Sasirangan, Rumah Tradisional Banjar, Galeri Terapung Sasirangan, Pulau Kembang, Pulau Sewangi, Pulau Curiak dan Pemandangan Tongkang Batu bara.

Setelah ditetapkan sebagai Geopark Nasional Indonesia pada tahun 2018, kini seluruh kawasan Pegunungan Meratus yang membentang di Kalimantan Selatan dalam penilaian menjadi UNESCO Global Geopark termasuk keberadaan Museum Wasaka.

Di bawah pengelolaan Seksi Cagar Budaya dan Permuseuman, Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan, Museum Wasaka terus berbenah meningkatkan pelayanannya agar semakin menarik masyarakat berkunjung.

Sejumlah inovasi pun telah dilakukan, di samping terus berupaya menambah koleksi dari benda-benda bersejarah yang menjadi hal utama diperhatikan.

Sejak di pintu masuk, pengunjung diminta mengisi buku tamu dengan sistem digital layar sentuh.

Dalam ruang koleksi, juga terdapat sejumlah fasilitas pendukung agar suasana lebih interaktif dan adanya permainan bagi anak-anak yang masih terkait edukasi sejarah perjuangan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan Muhammadun mengatakan Museum Wasaka mempunyai banyak program untuk meningkatkan kunjungan, antara lain, lomba mading 3D, belajar bersama di museum, pameran temporer, pameran keliling, pemeliharaan koleksi, hingga bimbingan dan edukasi bidang benda dan sejarah perjuangan.

Muhammadun berharap Museum Wasaka senantiasa memberikan layanan edukasi sebagai media pembelajaran nonformal berupa pemanduan, praktik kerja museum, dan bimbingan penelitian kepada masyarakat.

Sebagaimana motonya "Museum sebagai pusat kontemplasi pengalaman kolektif bangsa menuju kejayaan bangsa di masa depan", maka Museum Wasaka menyajikan benda-benda peninggalan masa lalu yang dapat dikatakan sebagai album kenangan suatu bangsa.

Untuk dapat memahami album kenangan tersebut diperlukan perenungan (kontemplasi) sehingga akan diperoleh pelajaran dari sebuah pengalaman.

Pakar antropologi masyarakat dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Nasrullah, MA mengatakan untuk bisa menarik masyarakat untuk berkunjung, museum jangan hanya dijadikan benda mati, tapi jadikan benda itu seolah punya mulut untuk menceritakan dirinya.

Dalam budaya material itu, benda sebenarnya memiliki sejarah sosial. Ini artinya pengelola museum harus mampu dan memiliki cara menjelaskan peristiwa di balik kehadiran suatu benda di situ.

Narasi tentang suatu benda mesti dibawa keluar museum agar menarik orang untuk mengunjungi juga baik dilakukan.

Ini bisa dilakukan melalui film-film pendek yang kini mulai dilakukan dalam bentuk perlombaan.

Lomba menulis artikel terkait objek di museum juga menjadi salah satu alternatif daya tarik.

Selain itu, perlu intensif kerja sama dengan komunitas untuk diskusi dan pameran benda-benda koleksi museum sehingga museum sesungguhnya sebagai ajang pembelajaran.

Tak kalah pentingnya, program siswa di sekolah datang dan belajar ke museum.

Apa yang dipelajari, tak lain bagaimana lokalitas itu menjadi bagian dari peristiwa besar secara nasional di daerah.

Cara lain memopulerkan museum menurut dosen mata kuliah Masyarakat dan Kebudayaan Sungai di FKIP ULM ini, di museum mesti ada spot yang "instagramable" sehingga pengunjung yang melek media sosial dapat berfoto dan mengunggahnya.

Bagaimana masyarakat bisa lebih mencintai sejarah dan meneladani perjuangan para pejuang? Nasrullah menekankan museum harus bisa menghadirkan cerita, sejarah, bahkan mitos terkait kedekatan pengunjung dengan objek yang dilihatnya.

Kedekatan cerita dengan pengunjung sama dengan nilai berita dalam konsep jurnalistik, yakni pembaca akan tertarik apabila kejadian berada di sekitarnya.



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023