Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen HAM Kemenkumham) Dhahana Putra mengatakan sedang fokus meninjau kembali tiga pasal Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.

“Tentunya berdasarkan putusan MK itu kami pedomani, bahwa nanti ke depan hal yang sudah dibatalkan itu kita tidak akan masukkan (ke UU KKR baru),” ujar Dhahana kepada awak media usai memberi sambutan dalam Evaluasi Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Secara Nonyudisial, di Jakarta, Rabu.

Bagi Dhahana, UU KKR memiliki peran penting dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Adapun ketiga pasal yang dibatalkan oleh MK dari UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah Pasal 1 angka 9 yang berbunyi, “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR”.

Selanjutnya, Pasal 27 yang berbunyi, “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.

Serta Pasal 44 yang berbunyi, “Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM”.

Jimly Asshiddiqie yang saat itu menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pernyataannya termaktub dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006.

Pasal-pasal tersebut dianggap menutup kemungkinan korban untuk mendapatkan keadilan melalui lembaga peradilan dan tidak memberi kepastian hukum.

Oleh karena itu, Dhahana bersama para pemangku kepentingan sedang membahas pasal-pasal tersebut guna menyusun Rancangan Undang-Undang KKR yang baru. Pembahasan ini bertujuan agar proses penyelesaian HAM berat masa lalu melalui UU KKR tidak meniadakan aspek penyelesaian secara yudisial.

“Harapannya, segera mungkin kami sampaikan (RUU KKR) kepada presiden,” kata Dhahana.

Ia mengungkapkan bahwa pada 2021, sudah terdapat RUU KKR dan naskah akademiknya. Akan tetapi, pihaknya akan mengkaji lebih lanjut dan menilai relevansi naskah akademik dan RUU KKR sebelumnya dengan situasi Indonesia saat ini.

Penyusunan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti Kejaksaan, LPSK, Komnas HAM, Kemenkumham, Kementerian Sekretariat Negara, hingga Kementerian Luar Negeri.

Baca juga: Dirjen HAM targetkan dialog HAM ASEAN jadi agenda rutin tiap tahun

Baca juga: Ditjen HAM susun laporan periodik implementasi Konvensi Antipenyiksaan

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023