Spora dari bakteri "Bacillus anthracis" mampu hidup dalam masa yang cukup lama, bahkan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga lahan terpapar sebaiknya tidak digunakan.
Yogyakarta (ANTARA) - Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengimbau masyarakat tidak menggunakan lahan-lahan di provinsi ini yang telah terindentifikasi terpapar antraks untuk beraktivitas.

"Kami berharap tidak digunakan. Tapi ini kelemahan di kami karena itu kan tanah (milik) warga," kata Medik Veteriner Madya Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan DPKP DIY Agung Ludiro di Yogyakarta, Jumat.

Ia mengatakan bahwa spora dari bakteri "Bacillus anthracis" mampu hidup dalam masa yang cukup lama, bahkan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga lahan terpapar sebaiknya tidak digunakan.

Area yang diduga sebagai titik spora antraks, kata dia, biasanya adalah lahan bekas penyembelihan atau kandang hewan ternak yang terkonfirmasi positif antraks.

Untuk memastikan lahan terpapar antraks, Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates bersama dinas peternakan di masing-masing kabupaten di DIY melakukan surveilans setiap tahun dengan memeriksa sampel tanah di lokasi yang ditentukan.

"Mereka akan mengambil sampel tanah di lokasi yang diperkirakan spora akan jatuh. Misalnya, di satu titik ada spora kemudian di situ kemungkinan dia bisa terbawa air, atau sepatu," kata dia.

Setelah dipastikan sampel tanah terdapat spora antraks, lanjut Agung, lahan tersebut kemudian diplester atau dilapisi dengan semen sekaligus sebagai tanda bahwa dilokasi tersebut terpapar atau pernah muncul kasus antraks.

"Kami selalu menekankan bahwa tanah yang ditutup semen itu kan di dalamnya ada spora sehingga jangan sampai itu dibuka atau dibongkar karena khawatir sporanya naik," kata dia.

Ia menilai hingga saat ini masyarakat yang wilayahnya pernah muncul kasus antraks seperti di Kulon Progo maupun Gunungkidul masih mematuhi imbauan itu.

Berdasarkan riwayatnya, kasus antraks di DIY pernah muncul di Pakem, Sleman pada 2003, berikutnya di Kulon Progo pada 2016, di Pleret, Bantul pada 2017, dan Karangmojo, Gunungkidul pada 2019.

"Mereka memang takut membuka itu karena akibatnya bisa menular ke ternak, bisa ke manusia," katanya.

Ia mengatakan setelah muncul kasus antraks yang menyebabkan 12 hewan ternak mati dan satu orang meninggal pada Juni 2023 di Dusun Jati, Kecamatan Semanu, Gunungkidul, BBVet bersama Dinas Peternakan dan Kesehatan Gunungkidul langsung melakukan uji sampel tanah yang diduga terpapar antraks.

"Proses pemeriksaan (sampel tanah) di laboratorium masih jalan terus untuk menentukan titik sporanya. Kami sedang mempersiapkan lokasi-lokasi yang akan disemen," kata Agung Ludiro.

Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) DIY drh. Aniq Syihabuddin mendorong penerapan biosecurity di kandang ternak sapi maupun kambing milik warga di Kabupaten Gunungkidul diperkuat untuk mencegah kasus antraks di wilayah itu berulang.

Penerapan biosecurity dimaksud antara lain dengan membenahi kebersihan maupun standar kandang ternak warga yang sebagian masih berlantai tanah karena berisiko menjadi sarana penularan antraks.

"Kandang tanah yang sifatnya basah susah dibersihkan, itu kan juga tidak higienis. Kalau dengan semen relatif lebih mudah dibersihkan," demikian  Aniq Syihabuddin .

Baca juga: Wapres: Isolasi kawasan dengan temuan penyakit antraks
​​​​​​​

Baca juga: DIY bakal terima 10 ribu lebih dosis vaksin antraks dari Kementan

Baca juga: Menkes: Antraks bukti kesehatan manusia dan hewan saling berhubungan

Baca juga: Dinkes Gunungkidul-DIY uji sero untuk survei warga terpapar antraks


 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2023