Jakarta (ANTARA) - Pertemuan para Menlu ASEAN (AMM) ke-56 dan para mitranyanya yang digelar di Jakarta, 11 – 14 Juli 2023, ditutup dengan tekad dan semangat baru untuk meningkatkan soliditas dan memperluas dialog dengan pihak-pihak lainnya.

Di tengah upaya untuk menuntaskan krisis Myanmar serta menghadapi rivalitas global di antara kekuatan negara adidaya, para Menlu ASEAN yang hadir dalam AMM ke-56 menghasilkan 149 butir komunike bersama.

Terkait isu Myanmar, salah satu butir komunike menyiratkan teguran keras atas inisiatif atau manuver Thailand mengundang Menlu kubu junta Myanmar (SAC) di luar kerangka Lima Butir Konsensus (FPC) dalam pertemuan di Pattaya, Thailand, 18 – 19 Juni lalu.

FPC yang disepakati para pemimpin ASEAN dan juga pimpinan junta Myanmar di Jakarta, 24 April 202,1 memuat seruan penghentian kekerasan secepatnya di Myanmar, dialog para pihak, penunjukan utusan khusus ASEAN, akses pengiriman bantuan kemanusiaan bagi ASEAN ke Myanmar dan mandat bagi utusan khusus untuk menemui para pihak di Myanmar.

Hanya menlu rezim junta Myanmar Than Swe, tuan rumah Thailand, Kamboja dan Laos yang hadir dalam pertemuan informal di Pattaya pada 18-19 Juni, sementara Menlu RI, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam absen.

Pihak Thailand berkilah, sebagai negara yang memiliki ribuan Km tapal batas darat dengan Myamar, negara itu sangat terbebani akibat krisis politik dan kemanusiaan berkepanjangan di negara itu, termasuk gangguan keamanan dan aliran pengungsi.

​​​​​“Seharusnya ASEAN berterima kasih pada Thailand, “ kata Menlu Thailand Don Pramudwinai, yang kemudian melanjutkan manuvernya, menemui Suu Kyi di penjara Kota Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar 9 Juli lalu.

Situasi politik di Myanmar bergolak akibat kudeta yang dilancarkan oleh Jenderal senior Ming Aung Hlaing terhadap pemerintah sipil pimpinan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021 yang sebelumnya memenangi pemilu.

Junta berdalih, pengambilalihan kekuasaan dari pemerintahan Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) yang memenangi Pemilu pada November 2020, karena mereka menganggap telah terjadi sejumlah kecurangan.

Rezim junta bergeming terhadap tekanan dan sanksi AS dan Barat atas tuduhan berbagai pelanggaran HAM terhadap rakyatnya, begitu juga pengucilan dari pertemuan-pertemuan tinggi ASEAN yang dianggap angin lalu.

Ribuan tokoh prodemokrasi ditangkapi, termasuk Suu Kyi, yang juga penyandang hadiah Nobel Perdamaian, 3.370 orang tewas di berbagai aksi yang dihadapi dengan tangan besi oleh Tatmadaw (tentara) dan 1,5 juta penduduk mengungsi.

Isu Myanmar mewarnai pembahasan antara Menlu ASEAN dan Komisi HAM antarpemerintah ASEAN (AICHR) yang menyoroti eskalasi aksi-aksi kekerasan dan implementasi lima poin konsensus (FPC) yang masih "jalan di tempat".

Selama tujuh bulan keketuaan RI di ASEAN, Kemlu telah menggelar 110 kali dialog dengan para pihak di Myanmar, mulai dari kubu oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), junta militer (SAC), kelompok etnis, sampai masyarakat sipil.

Isu HAM

Terkait isu HAM, pesan yang jelas disampaikan Menlu Retno Marsudi dalam dialog antara Menlu ASEAN dan AICHR yang digelar di tengah AMM ke-56, Selasa, 12 Juli.

Di tengah sejumlah perbedaan, Indonesia memandang bahwa ASEAN harus mengedepankan dialog untuk mengawal kemajuan yang sudah dicapai di bidang HAM, salah satunya melalui Forum Dialog HAM ASEAN.

Perbedaan, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan isu-isu krusial yang muncul di kawasan, dan ASEAN harus berkomitmen untuk terus mendorong penuntasannya.

Pemerintah RI  juga mewanti-wanti agar ASEAN bersikap tegas untuk menolak sikap standar ganda dan segala bentuk politisasi HAM serta harus terus memproyeksikan nilai-nilai ASEAN ke level global.

Namun diakui, krisis dan rivalitas global yang berlangsung saat ini memeperberat tantangan terhadap kemajuan penuntasan isu-isu HAM global.
ASEAN perlu memberi contoh melalui pendekatan konstruktif, bukannya dengan aksi saling tuding. Indonesia siap bekerja sama mengupayakan pencapaian (penuntasan isi) isu-isu HAM.

Indonesia juga berharap agar program-program AICHR tak terbatas pada peningkatan kapasitas (capacity building), tapi berbentuk inisiatif-inisiatif yang berdampak nyata.

ASEAN perlu bertindak nyata untuk mencegah setiap potensi konflik dan lebih agresif lagi mengupayakan perdamaian melalui diplomasi pencegahan. Hanya dengan ini (kehadiran-red) ASEAN akan tetap penting dan memainkan peran sentral.

Retno selaku keketuaan RI di ASEAN pada 2023 di forum AMM mengatakan, Asia Tenggara telah menikmati kedamaian, stabilitas, dan kemakmuran sepanjang lima dekade terakhir.

Perdamaian tidak jatuh dari langit, melainkan dari hasil upaya sistematis untuk membangun arsitektur kawasan yang inklusif.

Di tengah rangkaian AMM dengan mitra-mitra ASEAN, digelar pertemuan pascakonferensi (PMC), ASEAN plus Tiga (APT), KTT Asia Timur (EAS) dan Forum Regional ASEAN (ARF).

APT yang dibentuk pada 1999 melibatkan negara-negara anggota ASEAN bersama China, Jepang dan Korea Selatan, sedangkan EAS adalah kemitraan bersama AS, Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan dan Rusia, Selandia Baru.

Sedangkan ARF beranggotaan 27 negara (11 negara ASEAN plus 16 mitra) sebagai wadah keamanan di kawasan Indo-Pasifik melibatkan seluruh anggota EAS plus Kanada dan Uni Eropa, serta enam negara peserta lain, yakni Korea Utara, Mongolia, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, dan Papua Nugini.

Upaya ASEAN untuk menghindari potensi acaman nuklir melalui Traktat Asia Tenggara Bebas Senjata Nuklir (SEANFWZ) yang dibentuk pada 1995 terus digaungkan walau sampai hari ini belum ada negara pemilik kekuatan nuklir yang bersedia mengaksesinya.

Bahkan, pembentukan aliansi militer AUKUS (Australia, AS dan Inggeris) pada September 2021 yang programnya, antara lain kerja sama pengembangan kapal selam nuklir untuk Australia, melemahkan upaya ASEAN yang tertuang dalam traktat SEANFWZ.

Australia sendiri berkilah, hanya ingin memiliki kapal selam bertenaga nuklir, bukan kapal selam yang dipersenjatai nuklir untuk mengimbangi agresivitas China di Laut China Selatan.

Di tengah kompleksitas upaya penuntasan isu Myanmar yang menjadi “duri dalam daging” bagi soliditas ASEAN, netralitas Perhimpunan Bangsa-bagsa di Asia Tenggara itu menghadapi rivalitas global juga bakal terus diuji.

*) Penulis adalah mantan Wapemred LKBN ANTARA

 

Copyright © ANTARA 2023