Jakarta (ANTARA) - Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menilai perlu adanya koordinasi antar sektor dalam upaya untuk mengatasi ancaman fenomena penggabungan media sosial (medsos) dengan "e-commerce".

"Jadi justru itu tadi, e-commerce itu kan teknologinya, platformnya mungkin dari kita, tapi banyak policy dari Kementerian atau lembaga lain, khususnya Perdagangan, karena soal kebijakan impor, kebijakan apapun itu kan Kementerian Perdagangan," ujar Budi Arie di Jakarta, Senin.

Budi mengatakan pihaknya akan melakukan komunikasi dengan Kementerian atau lembaga terkait untuk membahas fenomena tersebut.

"Jadi nanti mungkin di satgas akan kita rumuskan bersama sinergi antar sektor. Karena terus terang kemajuan ini memerlukan cara berpikir baru juga untuk mengatasi ini," kata dia.

Baca juga: Aplikasi "social commerce" Linxchat tawarkan solusi “end to end”

Budi menilai perlu adanya sinergi antar kementerian atau lembaga untuk menghadapi persoalan tersebut. Terkait impor produk, kata dia, yang memiliki wewenang untuk memberikan izin adalah Kementerian Perdagangan, sehingga diperlukan koordinasi dengan kementerian tersebut.

"Kalau e-commerce kan soal izin impornya dari mana? Dari Perdagangan kan. Jadi supaya dipahami, bukan cuma Kemenkominfo yang mengurusi ini tetapi ada kementerian atau lembaga lain yang incharge untuk hal-hal seperti ini," kata Budi.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menugaskan Menkominfo Budi Arie Setiadi untuk menyelesaikan persoalan penyatuan media sosial (medsos) dan "e-commerce".

"Nanti itu tugasnya menteri baru, nanti akan saya perintahkan apa-apa, tanyakan ke Pak Menteri kalau sudah (ada detailnya)," kata Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Senin.

Baca juga: Peneliti berharap ada pemberlakuan regulasi pajak 'social commerce'

Belakangan muncul fenomena digabungkannya "e-commerce" dengan sosial media. Contohnya terjadi di medsos TikTok dengan nama Program "Project Social commerce" atau Project S.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan terdapat bisnis lintas batas atau cross border di TikTok Shop Indonesia melalui project S TikTok Shop seperti yang pertama kali mencuat di Inggris.

"Sekarang mereka klaim produk yang dijual bukan produk luar. Kata siapa, ketika saya mau bikin kebijakan subsidi untuk UMKM di online waktu COVID-19, semua pelaku e-Commerce tidak bisa memisahkan mana produk UMKM mana produk impor. Yang mereka bisa pastikan adalah yang jualan di online adalah UMKM dan mereka tidak bisa pastikan produknya ini, jadi jangan bohongi saya,” kata Teten.

Baca juga: "Social commerce" syariah Berkahi hadir ingin bantu UMKM

Teten menuturkan bahwa Pemerintah melihat fenomena project S TikTok Shop di Inggris akan merugikan pelaku UMKM jika masuk ke Indonesia. Project S TikTok Shop dicurigai menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China.

“Di Inggris itu 67 persen algoritma TikTok bisa mengubah behavior konsumen di sana dari yang tidak mau belanja jadi belanja. Bisa mengarahkan produk yang mereka bawa dari China. Mereka juga bisa sangat murah sekali,” ujarnya lagi.

TikTok Shop dinilainya menyatukan media sosial, crossborder commerce dan retail online. Dari 21 juta pelaku UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, mayoritas yang dijual di online adalah produk dari China.

Sehingga jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat, ujarnya pula, pasar digital Tanah Air akan didominasi oleh produk-produk dari China.

Baca juga: "Social commerce" kanal promosi efektif bagi produk perdagangan

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023