Jakarta (ANTARA) - Produser sekaligus anggota Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Gina S. Noer mengatakan bahwa buku panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (KS) dalam produksi film yang disusun oleh Aprofi memiliki fokus keberpihakan pada korban.

Sebelumnya pada akhir Maret lalu, Aprofi telah menerbitkan buku panduan tersebut yang dapat digunakan anggota Aprofi serta pihak yang berada di industri perfilman Indonesia. Panduan ini dibuat bertujuan untuk memberikan ruang aman dan nyaman bagi seluruh pekerja film.

"Panduan kami adalah kami berpihak pada korban. Jadi apapun proses hukumnya, baik mau menuntut ke hukum atau kemudian dia cuma butuh closure secara pribadi tanpa hukum sama sekali, atau kemudian dia butuh LBH, atau dia cuma butuh psikolog, itu semua kami lakukan sesuai dengan consent korban," kata Gina yang hadir secara virtual dalam diskusi yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Jakarta, Selasa (18/7) malam.

Baca juga: Aprofi buat panduan pencegahan kekerasan seksual dalam produksi film

Gina mengatakan bahwa buku panduan mencakup penjelasan mengenai hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya kekerasan seksual. Menurut panduan, korban juga berhak menyetujui atau menolak pelaporan serta menyepakati bentuk tindak lanjut.

Gina pun menekankan pentingnya untuk menghargai setiap keputusan korban dan tidak melihatnya sebagai pribadi pasif saat menentukan bentuk tindak lanjut untuk mencegah agar tidak terjebak menjadi korban untuk kedua kalinya.

Oleh sebab itu, pihak pendamping harus terbuka pada korban mengenai risiko-risiko yang akan ditempuh saat berusaha memperjuangkan keadilan dan melibatkan korban dalam setiap pengambilan keputusan pasca terjadinya kekerasan seksual.

"Dengan kita terbuka seperti itu, kemudian kita bisa memetakan resources kita, apa saja yang kita bisa bantu, siapa saja yang bisa terlibat, kemudian ally kita siapa saja. Menurut saya itu adalah bentuk hak untuk menghargai dan percaya sama korban," kata Gina.

"Korban tidak dilihat sebagai pribadi pasif saja yang kemudian dia malah bisa jadi korban karena dia terseret-seret keputusan orang lain. Tapi ketika kita memberikan peta risiko, resources, dan lain-lain, maka setiap pilihan korban itu bisa kita pahami, bisa kita dampingi," sambung dia.

Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, Gina juga mengingatkan pentingnya lingkar sistem pendukung (support system) untuk tidak mendesak dan memaksakan keputusan secara sepihak tanpa melibatkan korban.

"Kita harus belajar untuk mendampingi seutuhnya dan demi dia mendapatkan keadilan terbaik yang dia pilih. Jadi menurut saya, hal yang paling logis adalah justru amat sangat menghargai keputusan seorang korban," ujar Gina.

Baca juga: Aprofi ajak pelaku industri film terapkan asuransi kesehatan untuk kru

Dalam panduan Aprofi disebutkan bahwa korban berhak untuk menyampaikan pengaduan tertulis atau lisan. Gina menegaskan bahwa Aprofi berkomitmen untuk menjamin dan melindungi korban termasuk saat pengaduan. Panduan juga menyebutkan bahwa korban berhak mendapat perlindungan dari kehilangan pekerjaan selama masa produksi.

"Setiap anggota Aprofi wajib menandatangani bahwa mereka harus menjamin para korban. Misalnya, ada dalam produksi mereka. Jika mengadu, ya, mereka tentu akan tetap terjaga kemungkinan mendapat kerja atau bahkan pekerjaannya ketika mereka dalam proses syuting atau produksi film itu," kata Gina.

Di samping hak korban, panduan Aprofi juga memuat hak terlapor atau terduga pelaku kekerasan seksual selama belum dijatuhi keputusan hukum, salah satunya termasuk hak untuk mendapatkan rujukan konseling psikologis.

Gina memandang bahwa hukuman terhadap pelaku juga harus dipertimbangkan berdasarkan konteks kekerasan seksual yang dilakukan. Dengan konseling dan pendampingan yang tepat, pihak terlapor bahkan memiliki potensi dapat menjadi aliansi di kemudian hari untuk tujuan mengurangi angka kekerasan seksual.

"Orang-orang yang terlapor juga mereka yang paling terancam (kehilangan pekerjaan) sebenarnya, tapi di satu sisi lain bahwa dengan konseling yang tepat sebenarnya terlapor ini juga bisa punya kesempatan kedua dalam konteks kejahatannya seperti apa," kata dia.

"Misalnya karena dia (terlapor atau pelaku) catcalling, maka dia harus diusir selamanya dari industri perfilman. Itu kan jadi overkill terhadap mungkin kekerasan yang dilakukan," imbuh dia.

Baca juga: APROFI bicara soal kontroversi film Naura dan Genk Juara

Menurut dia, isu anti-kekerasan seksual yang diperjuangkan insan perfilman hanya merupakan bagian kecil dari isu-isu lainnya terkait keamanan dan kenyamanan kerja dalam sistem di industri film. Gina mengingatkan pentingnya seluruh pihak dalam ekosistem perfilman Indonesia untuk dapat bekerja sama menciptakan sistem yang lebih baik agar pekerja film bisa bekerja secara aman dan nyaman.

"Kita bersama-sama perlu mengingat lagi bahwa ketika kita bekerja, kita adalah bagian bukan cuma soal karya, membuat karyanya yang bagus, tapi juga mengusahakan sistem yang lebih baik agar semua orang bisa bekerja secara nyaman," katanya.

"Kalau ada yang bilang bahwa 'oh, isu anti-kekerasan seksual dan anti-bullying itu lebih penting dari isu soal jam kerja', itu sama sekali salah kalau menurut saya. Justru kita itu perlu memperjuangkan sistem-sistem yang baik ini bersama," ujar Gina menutup penjelasannya.

Baca juga: Durasi bukan acuan, film panjang dan pendek sama derajatnya

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023