sejarah tidak melulu dibentuk oleh narasi-narasi besar
Jakarta (ANTARA) - Ketua Forum Jurnalis Aceh Jakarta (For-JAK), Salman Mardira menyebut buku karya Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo), Nezar Patria berjudul "Sejarah Mati di Kampung Kami" menghadirkan Aceh dalam narasi yang baru, yakni kosmopolitan dan multikultural.

Salman mengatakan bahwa selama ini narasi tentang Aceh kerap bersinggungan dengan konflik bersenjata, bencana dan tanaman ganja. Padahal Aceh juga memiliki multikulturalisme kosmopolitan, terbuka, inklusif dan mampu memberikan warna tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

"Cerita-cerita humanis masyarakatnya yang kosmopolit dan terbuka dalam melihat berbagai persoalan masih jarang tergambarkan dengan baik. Bang Nezar Patria, dalam bukunya menggali cerita humanis dari Aceh yang merupakan kampung halamannya, dari sudut pandangnya sendiri,” kata Salman dalam acara bedah buku “Sejarah Mati di Kampung Kami” karya Nezar Patria, di Kantor Badan Penghubungan Pemerintah Aceh (BPPA), Jakarta Pusat, Jumat.

Menurut Salman, buku karya Nezar tersebut mengajak pembaca untuk mengetahui keseharian masyarakat Aceh secara mendalam lewat tulisan-tulisannya. Seperti kisah tentang mayat-mayat korban tsunami, tukang cukur, hingga sirop legendaris yang dikenal masyarakat di ujung sumatera itu disajikan dengan renyah dan menyentuh pembaca.

“Kehadiran buku ini melengkapi kekosongan narasi tentang Aceh yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat luas khususnya generasi saat ini,” ujar editor di salah satu media nasional tersebut.

Adapun buku tersebut berisi kumpulan tulisan Nezar Patria, hasil liputan mendalamnya saat masih menjadi jurnalis dan sebagian lagi artikel opininya yang diunggah di akun media sosial pribadinya.

Kumpulan tulisan tersebut berkisah tentang peristiwa konflik Aceh, tsunami, cerita humanis tentang kehidupan sosial kemasyarakatan, hingga dinamika informasi di era digital.

Sementara itu, salah satu pembedah buku sekaligus seorang sastrawan dan mantan jurnalis, Bre Redana mengatakan bahwa "Sejarah Mati di Kampung Kami" penting untuk menjelaskan Aceh sekarang dan Aceh selanjutnya.

"Cara Nezar menggambar peristiwa besar lewat potret kecil sangat kreatif dan menarik. Nezar sudah menunjukkan bahwa sejarah tidak melulu dibentuk oleh narasi-narasi besar," ungkap Bre.

Selain itu, seorang mantan jurnalis yang turut hadir dalam acara tersebut, Samiaji Bintang mengatakan semenjak dirinya masih menjadi jurnalis, tulisan Nezar memang selalu menjadi referensi dan inspirasi.

"Tulisan khas Nezar dengan lead menarik yang membuat pembaca tidak bisa lepas sampai akhir. Untuk menulis tulisan seperti ini perlu pemikiran dan perlu pengamatan lingkungan," ujar Samiaji.

Ia mengatakan, terbitnya buku tersebut akan sangat membantu untuk pengayaan wawasan calon jurnalis di perguruan tinggi.

"Artikel-artikel dalam buku ini bisa memberikan ruang imajinasi di tengah kebuntuan politik pada hari ini," ungkapnya.

Baca juga: Wamen Kominfo: Buku "Sejarah Mati di Kampung Kami" untuk milenial

Baca juga: Wamenkominfo Nezar fokus penyelesaian BTS dalam 100 hari kerja

Baca juga: Wamenkominfo berpesan kepada wartawan untuk bangun kebiasaan menulis

Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2023