semuanya punya pabrik untuk memproduksi modul surya, Indonesia juga ada kapasitasnya baru 1,6 GW, paling besar Vietnam dengan 34 GW
Jakarta (ANTARA) -
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai ASEAN memiliki potensi untuk menjadi hub manufaktur panel surya karena merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi pesat termasuk soal permintaan listriknya.
 
“Kami percaya Asia Tenggara punya potensi untuk jadi hub manufaktur panel surya untuk menyuplai permintaan domestik dan global,” kata Fabby dalam Indosolar Expo 2023 di Jakarta, Selasa.
 
Fabby mengemukakan dengan potensi sumber tenaga surya yang besar dan mulai menurunnya biaya instalasi serta kebijakan yang menguntungkan di sejumlah negara membuat ASEAN bisa melampaui kawasan lain dengan pertumbuhan kapasitas solar panel dari 25 GW pada 2021 menjadi 107-142 GW pada 2030.
 
Kendati demikian, menurutnya, tingkat pertumbuhan itu masih belum cukup untuk bisa mencapai target penurunan suhu bumi sebesar 1,5 derajat Celcius.
 
“Berdasarkan hitungan IRENA (International Renewable Energy Agency), solar panel harus mencapai setidaknya 241 GW pada 2030 dan total kapasitas terpasang panel surya harus mencapai 2.100-2.400 GW pada 2050 agar bisa sejalan dengan target penurunan suhu 1,5 derajat,” ujarnya.

Baca juga: IESR sebut perlu investasi energi 1,3 triliun dolar AS target NZE 2060

Baca juga: Interkoneksi jaringan di ASEAN jadi modal ketahanan energi terbarukan
 
Fabby mengatakan kawasan ASEAN memiliki cukup ruang di darat, atap bangunan hingga di permukaan perairan. ASEAN juga tercatat memiliki potensi sebesar 820 GW panel surya terapung yang berpotensi menyuplai 30 persen kapasitas yang dibutuhkan hingga 2050.
 
Saat ini ada tujuh negara ASEAN yang telah membangun fasilitas panel surya dengan total kapasitas mencapai sekitar 70 GW. Ke tujuh negara itu adalah Vietnam, Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, Kamboja dan Singapura.
 
“Negara-negara ini sudah semuanya punya pabrik untuk memproduksi modul surya, Indonesia juga ada tapi kapasitasnya baru 1,6 GW, paling besar Vietnam dengan 34 GW,” katanya.
 
Menurut Fabby kapasitas industri panel surya mencapai separuh dari total kapasitas terpasang industri tersebut di seluruh ASEAN karena mereka memiliki rantai suplai yang lengkap mulai dari polisilikon, ingot, wafer, sel surya dan komponen lainnya.
 
Indonesia, di sisi lain, memiliki keunggulan komparatif untuk bisa mengembangkan industri serupa di dalam negeri.
 
“Makanya Indonesia juga perlu membangun dari industri hulunya, dari polisilikon yang merupakan bahan baku penting dari panel surya,” katanya.

Baca juga: IESR: Pembatalan proyek PLTU batu bara cara hemat pangkas emisi global

Baca juga: IESR: Kebijakan insentif kendaraan listrik dapat tumbuhkan industri
 
 
 
 
 
 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023