Houston (ANTARA) - Harga minyak turun sekitar satu persen pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), setelah data menunjukkan persediaan minyak mentah AS turun kurang dari yang diharapkan dan Federal Reserve menaikkan suku bunga seperempat poin persentase.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman September tergelincir 72 sen atau 0,9 persen, menjadi ditutup pada 82,92 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September merosot 85 sen atau 1,1 persen, menjadi menetap pada 78,78 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Kedua harga acuan minyak turun lebih dari satu dolar AS di awal sesi, setelah mencapai tertinggi tiga bulan sehari sebelumnya.

Kenaikan suku bunga, yang ke-11 dari Fed dalam 12 pertemuan terakhirnya, menetapkan suku bunga acuan overnight di kisaran 5,25 persen-5,50 persen, dan pernyataan kebijakan yang menyertainya membiarkan pintu terbuka untuk kenaikan lainnya.

Baca juga: Minyak turun karena stok AS naik dan kehati-hatian jelang putusan Fed

Suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya pinjaman untuk bisnis dan konsumen, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak.

Sementara itu, persediaan minyak mentah AS turun 600.000 barel pekan lalu, menurut Badan Informasi Energi AS (EIA), dibandingkan dengan perkiraan penarikan 2,35 juta barel. Angka dari kelompok industri American Petroleum Institute (API) telah mengindikasikan peningkatan 1,32 juta barel.

Stok bensin dan solar juga turun lebih sedikit dari yang diharapkan, menurut data EIA.

"Penarikan tidak terlalu spektakuler. Itu adalah laporan netral hingga bearish, ditambah kenaikan suku bunga Federal Reserve dapat menekan permintaan dan harga," kata John Kilduff, partner di Again Capital LLC di New York.

Baca juga: Minyak turun di awal perdagangan Asia setelah stok AS meningkat

Harga minyak telah naik selama empat minggu, didukung oleh tanda-tanda pengetatan pasokan, sebagian besar terkait dengan pengurangan produksi oleh Arab Saudi dan Rusia, serta janji otoritas China untuk menopang ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Meskipun pasar mengharapkan Arab Saudi untuk melanjutkan pengurangan produksi Agustus ke September, sumber mengatakan kepada Reuters pada Rabu (26/7/2023) bahwa Rusia diperkirakan akan secara signifikan meningkatkan pemuatan minyak pada September, mengakhiri pemotongan ekspor yang tajam.

Sementara itu, kekhawatiran tinggi mengenai apakah China, juga konsumen minyak terbesar kedua dunia, akan memenuhi janji kebijakannya.

"Kita masih perlu menunggu kebijakan yang sebenarnya - risikonya kebijakan ini tidak sesuai harapan," kata kepala strategi komoditas ING, Warren Patterson.

"Pasar akan terus berada dalam tarik menarik antara pengetatan pasokan global dan kekhawatiran melambatnya permintaan akibat perlambatan ekonomi global," Hiroyuki Kikukawa, presiden NS Trading, unit Nissan Securities, menambahkan.

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023