Beijing (ANTARA) - Impor dan ekspor China pada Juli merosot jauh lebih cepat dari perkiraan sehingga mengancam prospek pertumbuhan ekonomi di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Selain itu, hal tersebut sekaligus memperbesar tekanan terhadap pemerintah China agar mengeluarkan stimulus untuk menyangga permintaan.

Menurut data bea cukai yang dirilis Selasa, impor berbasis year-on-year turun 12,4 persen pada Juli, atau melenceng dari perkiraan penurunan 5 persen dalam survei Reuters.

Ekspor mengalami kontraksi 14,5 persen yang lebih curam dari perkiraan penurunan 12,5 persen dan dibandingkan dengan penurunan yang terjadi bulan sebelumnya pada 12,4 persen.

Pengapalan arus masuk mengalami penurunan terbesar sejak Januari, ketika infeksi COVID memaksa toko-toko dan pabrik-pabrik ditutup sehingga menghancurkan arus permintaan domestik.
Baca juga: Pejabat China sebut perekonomian China akan tetap stabil pada H2 2023

Perekonomian China pada triwulan kedua tumbuh dalam kecepatan yang lamban karena lemahnya arus permintaan baik dari dalam maupun luar negeri.

Hal itu mendorong para pemimpin puncak menjanjikan dukungan kebijakan yang lebih jauh, selain membuat para analis memangkas perkiraan pertumbuhan China selama tahun ini.

Impor dan ekspor yang buruk adalah petunjuk terkini bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga bisa berjalan semakin melambat, di mana aktivitas konstruksi, manufaktur dan jasa, investasi asing langsung, dan keuntungan industri, semuanya melemah.

"Sebagian besar ukuran permintaan ekspor menunjukkan permintaan luar negeri yang turun jauh lebih besar ketimbang yang sejauh ini tercermin dalam data bea cukai," kata Julian Evans-Pritchard, kepala Ekonomi China pada Capital Economics.
Baca juga: Pasar pengelolaan kekayaan perbankan China tumbuh pada H1 2023

"Prospek jangka pendek belanja konsumen di negara-negara maju tetap menantang, yang banyak di antaranya masih menghadapi risiko resesi akhir tahun ini, meski ringan," katanya, menambahkan.

Nilai tukar yuan China mencapai level terendah dalam tiga pekan terakhir dan harga saham di Asia melemah setelah kemunculan data tersebut.

Pembuat kebijakan China pekan lalu mengatakan stimulus bakal segera muncul, tapi sejauh ini investor belum puas terhadap proposal memperluas konsumsi dalam sektor otomotif, properti dan jasa.

Beijing sedang mencari cara menggenjot konsumsi domestik tanpa terlalu banyak melonggarkan kebijakan moneter agar tidak memicu arus modal keluar yang besar karena negara-negara besar lainnya ramai-ramai menaikkan suku bunga guna menjinakkan lonjakan inflasi.

Hal itu mempengaruhi aktivitas ekonomi di seluruh Asia. Ekspor Korea Selatan ke China turun 25,1 persen pada Juli dari tahun sebelumnya. Ini merupakan penurunan paling tajam dalam jangka tiga bulan.

Surplus perdagangan China tumbuh sebesar 80,6 miliar dolar AS (Rp1.226 triliun) sehingga mementahkan perkiraan 70,6 miliar dolar AS (Rp1.074 triliun) dalam jajak pendapat Reuters.

Baca juga: China luncurkan langkah terperinci untuk tingkatkan ekonomi swasta
Baca juga: China luncurkan sejumlah insentif kebijakan untuk genjot konsumsi


Sumber: Reuters

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023