Kami memang berpihak pada yang profesional karena kalau nggak nanti industri kreatif hanya jadi tren, yang menghasilkan produk massal saja
Cekrak-cekrek suara jepretan kamera juru foto hampir tiada henti sejak awal hingga akhir pertunjukan Opera Jawa berjudul "Selendang Merah" di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, Sabtu malam (6/4). 

Mereka seperti ingin membekukan setiap momen paduan artistik gerak tubuh penari Jawa, selendang aneka warna, topeng, dan seni visual dalam pementasan itu.

Di panggung berdasar lingkaran hijau terang dengan latar seni visual,  Anggono Kusumo Wibowo, Danang Pamungkas, Heru Purwanto, Sruti Respati, Endah Laras, Cahwati, dan seniman profesional lain menampilkan lakon tersebut; menari, berdialog dan melantunkan tembang.

Sinden dan penyanyi keroncong kelahiran Solo, Endah Laras, melantunkan narasi pembuka cerita yang bertema dunia jungkir balik itu, "Cak, mreneo, selendang abang wis tak uncalno neng lemah..." (Cak, mari ke sini, selendang merah sudah kulempar ke tanah."

Cerita tentang kelompok ledhek pun bergulir setelah karakter utama yang terdiri atas Tuan Ledhek (Anggono), Sri Ledhek (Sruti), dan monyet bernama Hanoman (Heru) memperkenalkan diri.

Kisahnya diawali dengan penangkapan Hanoman, yang dalam dunia wayang merupakan binatang, manusia dan dewa dalam satu tubuh.

Hanoman kemudian dilatih secara kejam oleh Tuan Ledhek sehingga Sri Ledhek istrinya menaruh simpati kepada si monyet dan menyelimutinya dengan selendang merah.

Selendang merah itu selanjutnya membawa cerita ke beragam persoalan, termasuk konflik antara Tuan Ledhek dan Sri Ledhek, simpati Sri Ledhek kepada Hanoman yang berubah menjadi percintaan, serta kekejaman Tuan Ledhek.

Selendang merah seolah membawa kelompok ledhek itu ke dunia sirkus, dunia yang serba terbalik di mana semua tidak pada tempatnya. Manusia berperilaku seperti hewan, hewan jadi lebih manusiawi.

Kisah itu mengalir bersama keindahan topeng-topeng dari berbagai wilayah Nusantara dan tarian karya koreografer Anggono Kusumo Wibowo dan Danang Pamungkas di panggung yang penataannya dirancang oleh Iskandar Kama Loedin.

Dan komposisi musik Rahayu Supanggah, yang merupakan gabungan dari berbagai unsur bunyi gamelan Jawa dan musik tradisional dari beberapa daerah, serta lagu-lagu dengan lirik sarat makna mengiringi perjalanan kelompok ledhek bersama selendang merah.

Pada akhir pertunjukan yang hampir semuanya menggunakan Bahasa Jawa itu, tembang karawitan dilantunkan:

Selendang mengikat perut perempuan, menggendong seluruh kehidupan
Pegang perut ibu-ibu, kekasih dan anak-anak perempuan, dengar suara tembang dari dalamnya
Berjuta tahun menyimpan kisah manusia, binatang dan alam

Rahim adalah ibu alam
Angin yang menyebarkan benih pertumbuhan
Lautan yang membawa garam kehidupan
Lava yang membawa kemujaraban hidup

Rahim adalah ibu alam
Membunuh isi alam adalah membunuh rahim ibu
Membunuh asal kemanusiaan

Tepuk tangan penonton yang hampir memenuhi sekitar 300 kursi di Teater Besar ISI pun bergemuruh sampai para pelakon, musisi dan para pendukung acara meninggalkan panggung, dan lampu-lampu ruangan dinyalakan. 


Ensiklopedi kecil

"Selendang Merah" mengangkat Jawa yang multikultur dengan menampilkan banyak musik dan tari tradisi, sehingga menjadi seperti ensiklopedia kecil komposisi karawitan, tembang serta koreografi dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Menurut sang sutradara dan penulis naskah, Garin Nugroho, bagian terakhir trilogi Opera Jawa itu memadukan berbagai genre tari dan musik dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur dengan sastra, ketoprak, wayang, teater, film dan ritual sehari-hari.

"Sebelumnya kan disebut fokus pada Jawa Tengah, kalau sekarang Jawa Tengah dan Timur dengan komposisi Jawa Timur yang dinamis lebih banyak," katanya.

Dengan mata berbinar, sutradara yang karyanya sering mendapat penghargaan internasional itu lantas bertutur tentang kekayaan ragam tradisi musik dan tari Jawa.

"Setiap tempat ada yang berbeda, bahkan misalnya Banyuwangi saja kalau digali punya keragaman sendiri," kata dia. 

Para seniman profesional yang bekerja sama dengan Garin pun punya banyak khazanah musik dan tari tradisi, membuat dia bisa dengan mudah memilihnya sesuai dengan kebutuhan cerita.

"Saya ini sutradara paling bahagia, referensi saya nggak pernah pusing cari, mereka punya semua. Jadi kalau ini diumpamakan menulis, saya sudah punya semua bukunya, tinggal milih," kata Garin, yang malam itu mengenakan kemeja batik dan jarik--kain panjang batik yang dililitkan ke tubuh seperti sarung.

Garin juga menambah keragaman kultur Jawa dalam "Selendang Merah" dengan unsur-unsur budaya Nusantara yang lain, dengan topeng-topeng khas Papua dan Kalimantan serta sentuhan musik Minang, Bali, dan Nias.


Profesional lokal

Seperti di dua bagian sebelumnya, "Ranjang Besi" dan "Tusuk Konde", Garin memilih berkolaborasi dengan seniman-seniman profesional lokal untuk menampilkan bagian terakhir trilogi Opera Jawa, pertunjukan yang kini sudah berusia delapan tahun.

Di antaranya ada komposer dan etnomusikolog Rahayu Supanggah, yang sering pentas di mancanegara dan karya-karyanya mendapat penghargaan internasional.

Supanggah menyuguhkan komposisi musiknya bersama salah satu komposer gamelan terbaik Indonesia yang memilih spesialisasi tembang, Waluyo Sastro Sukarno; juga Darsono--pengajar gamelan yang pernah berkolaborasi dengan komponis luar negeri terkenal--; dan Peni Candra Rini, pesinden yang mendedikasikan diri untuk melestarikan musik tradisi.

"Semuanya ada 11 musisi," kata Supanggah serta menambahkan bahwa mereka menampilkan hampir 40 lagu yang khusus dibikin untuk pertunjukan "Selendang Merah."

Lalu ada Anggono dan Danang, penari dan koreografer yang mendalami tari tradisi; solois profesional Sruti; Cahwati yang punya kemampuan olah tubuh dan vokal Banyumasan kuat; serta Agung Wening yang menguasai disiplin tari Jawa Timuran. 

Pendukung lainnya adalah pengajar di akademi seni mangkunegaran yang sudah menari di ajang festival nasional dan internasional, Heru Purwanto; serta sinden dan penyanyi keroncong, Endah Laras.

"Mereka semua profesional dengan dasar tradisi yang kuat sekali," kata Garin.

Garin memilih seniman-seniman yang bertumpu pada nilai-nilai tradisi lokal itu karena merasa sayang bakat mereka tidak banyak muncul di pentas dunia seni pertunjukan Tanah Air yang sedang tumbuh, tapi justru mendapat lebih banyak ruang dan penghargaan di luar negeri.

"Karena sebetulnya drama yang bagus adalah yang mengelola profesionalisme. Itu syarat industri kreatif, selama tidak memunculkan profesionalisme dari para penari, dan pemusiknya, itu hanya tren saja, tidak akan meninggalkan bekas," katanya.

"Kita sering berusaha mengekspor pakai kemasan, pakai Bahasa Inggris, musiknya seperti mereka, semua seperti mereka. Padahal teater terbesar di dunia pun sumbernya digarap dari kelokalan kita," katanya. 

Hal itu pula yang membuat Garin sejak awal menampilkan Opera Jawa dengan bahasa lokal, dengan dukungan sumber daya lokal berakar tradisi kuat yang sekarang belum punya banyak ruang untuk mementaskan karya terbaik mereka di panggung dalam negeri.

"Saya pikir sumber daya saya yang paling besar itu bahasa tubuh tari Jawa dan ternyata sumber dayanya ada, konservasinya ada, gizinya pas, tempe tahu... Sumber daya yang paling kompetitif," katanya.

"Kami memang berpihak pada yang profesional karena kalau nggak nanti industri kreatif hanya jadi tren, yang menghasilkan produk massal saja," demikian Garin Nugroho.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2013