Jakarta (ANTARA) - Kristiana Banang (57 tahun) mondar-mandir ke dalam bilik nomor satu dan selasar samping rumah betang untuk memastikan anak-anak didiknya siap mengikuti pentas seni budaya yang merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Rimba.

Sorot matanya tajam melihat setiap gerak gerik bocah-bocah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang telah berpakaian adat.

Aroma kopi hitam panas jenis robusta menyeruak ke seluruh ruangan. Sajian minuman pembuka itu menjadi penanda pergelaran seni budaya segera dimulai.

Pada 29 Juli 2023, Festival Rimba menghadirkan pergelaran malam seni budaya untuk menghibur para tamu yang hadir dan menginap di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Pergelaran yang berlangsung selama 1,5 jam itu dimulai pukul 20.30 sampai 22.00 WIB, menampilkan beragam warisan budaya tak benda khas masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik maupun desa tetangga, mulai dari bermain musik, menebak teka-teki, bersenandung, bernyanyi, hingga menari.
Kepala Sekolah Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Kristiana Banang bercerita tentang pelestarian seni budaya di rumah betang masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik yang berlokasi di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Senin (31/7/2023) (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Selama 22 tahun, Banang telah mengingat berbagai gerakan tari dan bebunyian alat musik tradisional langsung dari para tetua komunitas adat Dayak Iban Manua Sungai Utik. Ilmu itu dia wariskan bersama para tetua lainnya kepada para siswa sekolah adat.

Bagi masyarakat adat Dayak Iban Manua Sungai Utik, seni budaya yang mereka miliki bukan sekadar identitas dan eksistensi, melainkan juga sebagai konektivitas dengan alam yang membangun karakter kuat dalam berbagai aktivitas kehidupan.

Mengajar seni budaya kepada anak-anak, bagi Banang yang menjabat sebagai kepala sekolah pada sekolah adat Dayak Iban Manua Sungai Utik, adalah pekerjaan sosial. Dia terus mengajarkan dari generasi ke generasi agar warisan budaya tak benda ini tetap lestari.

Suara musik mengalun. Dari pintu masuk samping rumah betang, enam anak-anak perempuan mengenakan topi caping menaiki panggung dan mulai menari dengan anggun.

Gerakan demi gerakan gemulai yang mereka tampilkan lewat tari kreasi menghipnotis ratusan pasang mata. Malam itu, semua penonton menyeringai tawa dan bersuka cita atas suguhan seni budaya yang mempesona.


Sekolah pewarisan

Setiap Rabu dan Sabtu malam, rumah budaya yang terbuat dari kayu ramai dikunjungi oleh anak-anak yang belajar seni budaya. Tempat itu menjadi sekolah adat bagi generasi muda Dayak Iban Menua Sungai Utik, sejak tiga tahun lalu hingga sekarang.

Ada 36 pengajar dan siswa sekitar 40 orang di sekolah adat tersebut. Mata pelajaran yang diwariskan adalah menganyam, begendang, beramban, dan menari.

Banang yang bekerja sebagai staf administrasi sekolah menengah pertama menuturkan pihaknya hanya mengajar satu jam setiap pertemuan agar siswa tidak merasa bosan. Jika anak-anak itu meminta tambahan jam, maka waktu belajar menjadi dua jam.

Anak-anak itu tidak hanya diajar cara menganyam, tetapi juga proses mengambil bahan baku tanaman bemban di hutan, meraut, hingga menjemurnya. Proses panjang itu diajarkan secara bertahap hingga akhirnya mereka piawai mencipta tikar, topi caping, maupun tas.

Pelajaran menganyam itu dilakukan secara berulang agar anak-anak hapal proses pembuatan karya. Sekolah adat juga mengadakan evaluasi dengan meminta setiap anak untuk membuat satu produk anyaman tanpa dibantu orang lain.

Ketika anak-anak bisa menghasilkan karya secara mandiri tanpa bantuan orang lain, maka itu menjadi tanda bahwa ilmu yang diajarkan sekolah adat sudah tertanam di dalam diri mereka.

Bahkan, menabuh gendang bukan perkara gampang. Setiap gendang punya jenis dan karakteristik suara yang berbeda, sehingga harus belajar dari para tetua yang memang piawai menabuh alat musik tradisional tersebut.
Sejumlah anak belajar menabuh gendang dari para orang tua di rumah betang masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik yang berlokasi di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Jumat (28/7/2023). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Sekolah adat itu gratis dan murni tanggung jawab orang tua masyarakat Dayak Iban Menua Sungai Utik kepada generasi muda. Para pengajar tidak dibayar untuk setiap ilmu yang mereka wariskan di sekolah adat tersebut.

Bagi para orang tua, anak-anak adalah masa depan bagi keberlangsungan komunitas. Perkembangan zaman dan teknologi yang berkembang pesat telah merangsek masuk melalui siaran televisi dan media sosial, membuat anak-anak mulai terpengaruh, bahkan beberapa orang ada yang melupakan seni budaya yang mereka punya.

Bagi Banang, sekolah adat menjadi benteng pelindung agar generasi muda tidak melupakan seni budaya dan hutan yang menjadi simbol spiritualitas bagi masyarakat adat Dayak Iban Manua Sungai Utik.

Setiap aktivitas, mulai dari kelahiran hingga kematian, selalu ada rangkaian ritual yang harus dijalankan sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur.


Harapan

Terik Matahari menyengat saat musim kemarau panjang. Cahaya surya menembus celah-celah rumah betang menciptakan warna sepia pada bangunan yang telah berusia hampir setengah abad itu.

Rumah betang berbahan kayu yang berdiri sepanjang 216 meter itu menjadi tempat tinggal bagi 286 jiwa dari 86 kepala keluarga yang menghuni 28 bilik.

Banang adalah perempuan asli Ulak Pauk. Dia dinikahi oleh pria asli Dayak Iban Manua Sungai Utik dan mulai menetap di rumah betang sejak Agustus 2001.

Sejak awal menetap di Sungai Utik, ibu anak satu itu perlahan jatuh cinta dengan berbagai produk seni budaya yang dimiliki oleh komunitas adat tersebut. Rumah betang yang memiliki ruai alias ruangan bersama yang memanjang dari ujung ke ujung bangunan menjadi tempat berkumpul warga penghuni bilik.

Banang tidak menyia-nyiakan setiap kali ada kesempatan berkumpul, dia mempelajari seni budaya, termasuk adat istiadat dari berbagai penuturan dan praktik yang dilakukan langsung oleh para tetua.
Sejumlah anak menari saat pentas seni budaya Festival Rimba yang digelar di rumah betang masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Sabtu (29/7/2023). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Pada 2011, kedatangan 75 pemuka agama Katolik ke Sungai Utik menjadi peristiwa penting yang mengubah cara pandang komunitas terhadap warisan budaya tak benda.

Dahulu, setiap ada tamu yang berkunjung, masyarakat selalu menyambut dengan berbagai pertunjukan seni budaya. Tarian dan bebunyian alat musik tradisional hanya boleh dilakukan oleh para tetua.

Namun, Romo Carolus minta penyambutan dilakukan oleh anak-anak. Kala itu berbagai penolakan datang dari generasi tua karena mereka menganggap seni budaya adalah ritual sakral yang tidak bisa dilakukan oleh anak-anak, gerakan anak-anak dipandang tidak selaras.

Banang membulatkan tekad untuk mengajarkan ilmu seni budaya sebisanya kepada anak-anak Sungai Utik. Dia meyakinkan masyarakat bahwa para tokoh agama Katolik minta disambut oleh anak-anak bukan karena pandai menari, tetapi tingkah lucu anak-anak itu yang justru menarik perhatian.

Sejak peristiwa itu, anak-anak mulai mendapatkan tempat sebagai garda terdepan dalam menunjukkan kekayaan seni budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik.

Saat ini keberadaan anak-anak dan generasi muda menjadi aspek penting dalam berbagai pertunjukan seni budaya hingga ritual adat yang dilakukan oleh komunitas adat tersebut. Beberapa orang yang telah merampungkan kuliah ke kota ada yang memutuskan pulang dan terlibat langsung dalam aktivitas sekolah adat melanjutkan pewarisan tradisi Dayak Iban Menua Sungai Utik.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023