polusi mungkin bukan saja terkait lingkungan, melainkan telah merembet pada kehidupan sosial budaya masyarakat, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo
Magelang (ANTARA) - Begitu penikmat seni menapak pintu masuk utama Gedung Lokabudaya "Soekimin Adiwiratmoko" Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah, di kawasan alun-alun setempat, lukisan berjudul "Magelang di Antara 5 Gunung" seakan-akan segera menyodok mereka untuk menyimak secara saksama.

Pikatan kuat karya itu barangkali karena dipampang di tembok paling strategis salah satu bangunan de facto cagar budaya di tengah kota sejuk itu, dan ukuran lukisan relatif raksasa, 139x378 sentimeter, ketimbang karya-karya seni rupa lain yang dipajang dalam pameran tunggal perupa setempat, Kristianto Kwik (Kris Kwik).

Karya itu salah satu di antara 65 lukisan dan patung yang dipajang pada pameran bertajuk "Listening to Nature", selama 18-28 Agustus 2023. Alumnus ISI Yogyakarta pada 1989 itu memamerkan lukisan dan patung karyanya sejak 2014 hingga 2023.

Pembukaan pameran oleh pemilik OHD Museum Kota Magelang dr. Oei Hong Djien dengan antara lain dihadiri Wali Kota Muchamad Nur Aziz, sedangkan catatan pameran oleh Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Muhammad Nafi. Acara dimeriahkan dengan pementasan musik tiga grup band, dua tarian rakyat setempat, dan pembacaan puisi oleh penyair Kota Magelang Hudi D.W.

Mungkin juga daya pikat tepat kena atas pameran karya itu karena bersamaan dengan para seniman petani Komunitas Lima Gunung menggemakan agenda tahunan mandiri, berupa Festival Lima Gunung XXII, di Dusun Sudimoro, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, yang akan berlangsung selama 25-27 Agustus 2023.

Salah satu kekuatan pikat festival itu, dihadirkan melalui instalasi seni panggung dan lingkungan dusun menggunakan bahan-bahan alam, antara lain, jerami, klobot, batang jagung, bambu dan kayu, menjadikan suasananya bersimbah taburan nuansa alam pertanian di desa.

Selama sekitar 2 bulan terakhir, panggung festival tahun ini bertajuk "Kalis ing Kahanan", dikerjakan warga setempat bersama pegiat komunitas yang dibangun oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut. Saat ini, pembuatan panggung dengan instalasi berbahan alam di bawah Bukit Selogender dengan aliran Kali Bolong di Dusun Sudimoro, secara gotong royong memasuki tahapan akhir.

Meskipun objek lukisan "Magelang di Antara 5 Gunung" diakui Kris Kwik terinspirasi nama komunitas tersebut, tidak serta merta kanvas raksasa itu sekadar menghadirkan lima gunung yang dimaksud untuk menunjuk seniman petani Komunitas Lima Gunung, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegununan Menoreh.

Hamparan karya itu juga melukiskan tentang sejumlah gunung lain dengan lanskap kawasan alam yang kental dengan warna kuat hijau mengelilingi Kota "kecil" Magelang.

Kota Magelang seluas 18,56 kilometer persegi berada di ketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Daerah itu dengan hawa sejuk rata-rata 29 derajat Celsius. Wilayah administratif kota tersebut, meliputi tiga kecamatan dan 17 kelurahan dengan jumlah penduduk pada 2022 tercatat 121.675 jiwa (datago.magelangkota.go.id).

Seakan dari langit di atas kota setempat, lukisan tersebut juga menghadirkan penampakan lanskap kesuburan kawasan sejumlah gunung lainnya, tentu saja dengan sapuan kuas mewujudkan tebaran kumpulan kabut, seperti di Gunung Telomoyo (Kabupaten Magelang-Semarang), Sindoro (Kabupaten Temanggung-Wonosobo), dan Prau (Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Batang, Kendal). Tentu pula, Gunung Tidar di tengah Kota Magelang tak luput dari sapuan kuas sang perupa.

Belum lagi suasana Ibu Kota Jakarta yang sedang dirundung polusi udara akhir-akhir ini, yang membikin resah warganya dan menjadi perhatian reflektif publik negeri, semakin memperkuat pesan tentang listening to nature (mendengarkan alam) untuk kemudian direspons sebagai gerakan tepat dan cerdas dalam menjaga kelestarian alam agar umat manusia terbebas dari marabahaya.

Tema Festival Lima Gunung XII/2023 "Kalis ing Kahanan" pun, sebagaimana diungkapkan salah seorang tokoh Komunitas Lima Gunung yang juga dalang, Sih Agung Prasetyo, menyerukan pesan kepada khalayak untuk terus mencintai dan melestarikan alam, serta menjaga lingkungan agar kehidupan bersama kedap dari situasi sulit, duka, dan malapetaka.

Berbagai karya seni rupa dalam pameran "Listening to Nature" sekiranya menjadi media sang perupa untuk mengajak pengunjung memijakkan kesadaran bahwa alam sebagai fondasi mewujudkan harmoni kehidupan jiwa dan raga, serta kepentingan material dan spiritual yang tak timpang.

Ia selama bertahun-tahun telah menjalani hidup di Ibu Kota Jakarta sebagai pelaku industri desain komunikasi visual sesuai dengan latar belakang program studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sedangkan sejak beberapa tahun terakhir memutuskan kembali ke kampung halamannya di Kota Magelang untuk melanjutkan pekerjaan itu sembari terus melahirkan karya seni rupa.

Setidaknya, Kris Kwik, salah seorang dari sekian banyak orang yang mengalami perubahan kehidupan riuh dan hiruk pikuk kota besar, menjadi suasana harian kehidupan kota kecil yang relatif tenang, ayem, bermandi hawa sejuk, dan menganggap cukup terpenuhi kebutuhan harian dari segala hal yang disediakan Kota Magelang dengan lingkungan alamnya.

Seolah selesai dengan diri sendiri, menjadikan ia lalu menikmati segala hal di alam sekitarnya sebagai inspiratif, untuk dituangkan menjadi karya seni rupa, seperti lukisan "Pleasant Trip" (Perjalanan Menyenangkan) tentang sejumlah perempuan desa di Kecamatan Grabag berada di bak truk melintasi jalan di dekat tebing dengan kiri-kanan berupa rerumputan hijau yang rindang.

Demikian pula lukisannya, "Balance is Created" (Keseimbangan Tercipta) tentang tembok batu bata tanpa plester dengan pepohonan merambat, di atasnya terlukis sekelompok Semut Geni (Genus solenopsis) dan Belalang Kukus Hijau (Atractomorpha crenulata) bertengger di batu kecil, serta tumpukan sejumlah batu tak beraturan namun berdiri secara seimbang.

Lukisan yang juga berlatar belakang seakan-akan tanaman rumput atau padi setengah menguning, bagai menjadikan tema pameran sebegitu pas membawakan pesan pentingnya menjaga alam dari terpaan polusi.

Wajah paradoksal, kira-kira demikian Ketua DKKM Muhammad Nafi mengomentari polusi udara sedang menghinggapi Ibu Kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya dengan pesan pameran "Listening to Nature" di markas utama para seniman dan pegiat budaya di Kota "kecil" Magelang tersebut.

Bahkan, polusi mungkin memang bukan saja terkait dengan lingkungan, melainkan juga dipandang telah merembet pada kehidupan sosial budaya masyarakat, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo saat berpidato pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (16/8), dalam ungkapan "polusi budaya".

"Polusi budaya" tentu saja mencederai nilai-nilai luhur warisan nenek moyang bangsa tentang moralitas publik yang menyangkut hubungan sosial budaya masyarakat negeri ini, seperti halnya sikap ramah-tamah, sopan santun, tenggang rasa, dan hormat-menghormati.

Barangkali polusi budaya juga mengundang wajah lingkungan bermuram dan membuat kian terasa polusi alam menyengat. Oleh karenanya, dengarkan suara alam supaya polusi tempoh alias absen!





 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023