Jakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden Soeharto di usia senjanya belum dapat hidup tenang karena aktivis mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak Adili Soeharto (Arbas) di Jakarta, Rabu, masih menuntut pengadilan dirinya dalam kasus korupsi. Puluhan aktivis Arbas bergerak menuju Kampus Bina Sarana Informatika (BSI) Salemba, Jakarta, untuk melakukan aksi damai guna menuntut aparat penegak hukum dan pemerintah agar melanjutkan proses pengadilan terhadap mantan pemimpin Orde Baru itu. "Aksi yang sama juga serentak digelar di sebelas kota, seperti Bandung, Tasikmalaya, Garut, Banten, Tangerang, dan Bekasi," kata aktivis komunitas mahasiswa Universitas MPU Tantular Jakarta, Bejo. Soeharto yang genap berusia 85 tahun pada 8 Juni lalu dan turun dari kursi kekuasaannya pada 21 Mei 1998 di bawah tekanan puluhan ribu pengunjuk rasa di Jakarta dituduh terlibat dalam kasus korupsi dana sejumlah yayasan yang pernah dikelolanya selama berkuasa. Terkait dengan kasus dugaan korupsi atas dirinya, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Kasus dugaan korupsi pemimpin Orde Baru itu mulai terkuak pada 1 September 1998 ketika Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto dari anggaran dasar lembaga tersebut. Pada 7 Desember 1998, di depan Komisi I DPR, jaksa agung (saat itu) mengungkapkan hasil pemeriksaan atas Yayasan Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa agung saat itu juga mengungkapkan penemuan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp24 miliar, Rp23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana. Pada 28 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Pada 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan SK PPP yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. Sesuai pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa yang dalam keadaan tidak sehat maka tidak bisa diajukan ke persidangan. Dengan terbitnya SK PPP itu, status proses hukum Soeharto dinyatakan final dan penguasa Orde Baru itu bebas dari status "terdakwa"; kecuali bila ditemukan alasan berupa kesembuhan penyakit Soeharto barulah dia dapat diajukan ke persidangan lagi. (*)

Copyright © ANTARA 2006