Jakarta (ANTARA) - Yayasan Puan Amal Hayati (PAH) menggelar Bahtsul Masail atau forum diskusi antar ahli keilmuan Islam membahas pencegahan serta mendorong kajian keislaman soal penghentian praktik Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau khitan perempuan.

"Apabila praktik ini tidak dihentikan, kekhawatiran saya adalah terjadinya praktik-praktik ilegal dalam perbuatan itu," ujar Ketua Yayasan PAH Sinta Nuriyah Wahid dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.  

Saat ini praktik khitan perempuan di Indonesia masih dalam wilayah perbedaan pendapat. Sejumlah ulama menganggap P2GP adalah sebuah keharusan, sementara tokoh lain menganggap bahwa itu harus dihentikan. 

Adapun di masyarakat, khitan perempuan menjadi kultur atau norma sosial. Tetapi, Permenkes No. 6 Tahun 2014 menyatakan sunat perempuan hingga saat ini tidak termasuk tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.

Sinta menilai perlunya alasan-alasan logis yang menunjukkan bahaya dari praktik P2GP. Sebab, ia khawatir akan adanya praktik ilegal khitan perempuan.

"Sehingga, korban akan bertambah banyak tanpa ada yang bertanggung jawab," katanya.

Husein Muhammad, ulama yang fokus pada isu hak-hak perempuan, memaparkan dua hadits Nabi tentang praktik pemotongan bagian genitalia perempuan. Menurutnya, dua hadis itu menunjukkan sebuah proses transformasi budaya.

"Yang tadinya memotong habis, (kemudian hanya sebagian). Jadi, Nabi melakukan proses transformasi kebudayaan. Seharusnya kita melanjutkan (menjadi) tidak memotong," kata dia.

Ia mengutip pendapat Al-Hafidh Ibnu Mundzir (w. 309 H) yang menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis yang dapat digunakan untuk melegitimasi praktik sunat perempuan. Hal ini disebabkan hadistnya dinilai lemah.

Husein juga mengutip fatwa Dewan Fatwa Mesir dan hasil Muktamar Ulama Dunia tahun 2006 yang melarang praktik tersebut berdasarkan pertimbangan medis.

Sementara itu, Dosen Pascasarjana Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Nur Rofiah menegaskan pentingnya menyadari perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki. Sebab, banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Misalnya, secara anatomi dan fungsi reproduksi. Secara sosial, sunat perempuan diyakini secara berbeda dengan sunat laki-laki.

Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang masih sering diabaikan, ia menekankan pentingnya menyajikan perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki secara komprehensif sebagai salah satu strategi dalam upaya menghentikan praktik ini.

"Strategi yang harus dibangun adalah memberikan perbedaan secara komprehensif dari A sampai Z, tidak hanya secara biologis tetapi juga secara sosial. Termasuk dalil-dalilnya," katanya.

Ditinjau dari aspek regulasi, Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin membeberkan terdapat Fatwa MUI No. 9A tahun 2008 yang mendukung praktik P2GP. Di dalamnya dinyatakan bahwa khitan perempuan sebagai pemuliaan bagi perempuan. Bahkan dinyatakan secara eksplisit, baik khitan laki-laki maupun perempuan adalah fitrah, aturan, dan syiar Islam.

Fatwa MUI yang disebutkan sendiri juga menunjukkan keragaman pendapat para ulama dalam memandang P2GP. Karena itu, menurut Lukman Hakim Saifuddin, perlu dijelaskan masing-masing konteks yang melatarbelakangi perbedaan pendapat tersebut.

"Jadi, kontekstualisasi dari masing-masing pendapat keagamaan terkait dengan sunat perempuan itu perlu dijelaskan. Karena hukum itu berubah-ubah sesuai konteksnya," kata dia.

Baca juga: Sinta Nuriyah ingatkan masyarakat pentingnya Bhinneka Tunggal Ika

Baca juga: Istri Gus Dur: Bangsa Indonesia alami defisit tradisi


 

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023