Cara pandang mengenai penghormatan dan perlindungan terhadap perempuan inilah yang akan menumbuhkan praktik antikekerasan terhadap perempuan.
Jakarta (ANTARA) - Pelecehan seksual dipandang layaknya fenomena gunung es yang tampak sedikit di permukaan, namun sesungguhnya menyimpan lebih banyak kasus mendalam yang belum terungkap.

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 mencatat bahwa satu dari empat perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik serta kekerasan seksual dari pasangan ataupun bukan pasangan.

Data lain dimuat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang menyatakan bahwa sepanjang tahun 2022 ada 11.266 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 11.538.

Berdasarkan laporan Simfoni PPA tersebut, 880 kasus di antaranya terjadi di fasilitas umum.

Ruang publik yang dilintasi begitu banyak pasang mata nyatanya tidak menjamin keamanan perempuan.

Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tahun 2022 bahkan mencatat, dari 4.236 responden perempuan yang disurvei, sebanyak 3.539 responden menyatakan pernah mendapatkan pelecehan seksual di ruang publik.

Pelecehan di ruang publik yang dihimpun dari survei tersebut menyatakan, sebanyak 23 persen terjadi di transportasi umum.

Berbagai data yang disajikan tersebut terhitung dari jumlah yang dilaporkan. Bagaimana dengan kasus pelecehan yang belum dilaporkan?

Nyatanya tidak semua korban berani bicara mengenai tindakan yang mereka anggap aib karena berbagai alasan.


Ruang khusus perempuan

Memastikan seluruh orang untuk berperilaku selaras dengan norma susila merupakan sebuah paradoks yang membutuhkan perjalanan panjang.

Intervensi ruang dan sistem dibutuhkan untuk menjamin keamanan perempuan yang kerap menjadi mangsa dalam kasus pelecehan.

Ruang khusus perempuan mulai dibentuk di berbagai fasilitas umum untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender.

Tanpa mengerdilkan laki-laki yang juga berpotensi menjadi korban pelecehan, ruang khusus perempuan merupakan pengejawantahan fakta yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menjadi korban.

Praktik ruang khusus perempuan di transportasi umum telah dijalankan oleh banyak negara di dunia dunia seperti Jepang, Amerika Serikat, hingga India.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati memandang implementasi ruang khusus perempuan di transportasi publik merupakan intervensi yang tepat dilakukan di tengah sulitnya mengubah cara pandang laki-laki patriarki.

Melalui penerapan ruang khusus perempuan, masyarakat akan melihat bahwa perempuan adalah sosok yang patut dilindungi dan dihormati.

Cara pandang mengenai penghormatan dan perlindungan terhadap perempuan inilah yang akan menumbuhkan praktik antikekerasan terhadap perempuan.

“Ini menjadi pelajaran buat orang-orang yang belum mendapatkan pendidikan tentang inklusivitas,” kata Devie.


Upaya perlindungan perempuan di Commuter Line

Commuter Line merupakan salah satu transportasi umum unggulan yang menjadi penghubung Jakarta dengan berbagai kota penyangga.

Tidak heran saat jam sibuk pada pagi dan sore hari pemandangan padat di seluruh gerbong Commuter Line merupakan hal yang lumrah.

Pada Juni 2023 tercatat ada 851.898 orang menggunakan KRL Commuter Line setiap hari. Angka ini meningkat pada Juli 2023 menjadi 891.764 rata-rata pengguna harian.

Angka tersebut menunjukkan bahwa Commuter Line menjadi bidikan utama warga Jabodetabek dalam memilih transportasi publik.

Padatnya pengguna membuat kasus pelecehan di transportasi ini tidak terhindarkan.

Sepanjang tahun 2022 KAI Commuter mencatat ada 34 kasus pelecehan. 30 di antaranya terjadi di sepanjang perjalanan Commuter Line, sedangkan empat kasus lainnya terjadi di area stasiun.

Angka pelecehan tersebut menurun pada periode Januari-Agustus 2023 yang mencatat 5 kasus pelecehan yang seluruhnya terjadi di sepanjang perjalanan Commuter Line.

Seorang pengguna Commuter Line, Agnes Setiawati (28), yang setiap hari menggunakan Commuter Line untuk akses bekerja dari Jatinegara menuju Juanda memilih menggunakan kereta khusus perempuan untuk menjaga keamanan diri.

“Kalau di gerbong campuran kan kalau padat gitu ya, takutnya ada tindakan yang kurang menyenangkan,” kata Agnes.

Memilih gerbong perempuan dengan alasan keamanan juga dilakukan Sri Wahyuni (31) yang selalu mengakses Commuter Line untuk mengunjungi rumah keluarga.

Menimbang rute yang ditempuhnya cukup jauh yaitu dari Bekasi menuju Tangerang, Sri memilih gerbong perempuan lantaran tidak sekadar gerbong tersebut diisi oleh gender yang sama, melainkan juga karena tersedianya petugas keamanan di gerbong tersebut.

Gerbong khusus perempuan yang disebut Kereta Khusus Wanita (KKW) diluncurkan oleh KAI Commuter pada 19 Agustus 2010.

Terletak di gerbong pertama dan terakhir rangkaian kereta, saat ini KAI Commuter mengoperasikan 190 Kereta Khusus Wanita (KKW) dari 95 rangkaian yang dioperasikan untuk 1.100 total perjalanan setiap harinya.

Gerbong khusus perempuan merupakan wujud inovasi dari KAI Commuter untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan yang enggan berbagai ruang lintas gender, serta wujud pencegahan terhadap tindak pelecehan seksual terhadap perempuan.

Selama 13 tahun sudah Kereta Khusus Wanita (KKW) ini hadir dan menemani perjalanan pengguna perempuan. Data menunjukkan bahwa inovasi ini mampu meminimalisasi pelecehan di perjalanan Commuter Line.

“Saat ini laporan yang kami terima, tidak ada laporan tindak pelecehan seksual terhadap pengguna wanita yang terjadi di KKW,” kata Leza Arlan, Manager External Relation & Corporate Image Care KAI Commuter.

Inovasi lain yang diimplementasikan KAI Commuter terkait tindak pelecehan seksual adalah memasang CCTV Analytic yang mampu merekam tindak pelecehan terduga pelaku. Nantinya data terduga pelaku akan masuk dalam database tersebut untuk dilakukan tindakan lebih lanjut.

Memecah gunung es pelecehan seksual membutuhkan keberanian dari berbagai pihak. Korban yang sesungguhnya dirugikan perlu menyisihkan malu yang diderita untuk bicara, saksi pun perlu mengulurkan pertolongan melalui keterangan.








 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023