Jakarta (ANTARA) -
Kepala Pusat Standar Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudrikstek) Irsyad Zamjani menyatakan bahwa seluruh kebijakan pendidikan yang ada di Indonesia kini mengacu pada landasan dan filosofi Merdeka Belajar.
 
“Seluruh kebijakan pendidikan kini mengacu pada filosofi Merdeka Belajar, yakni sebuah inisiatif untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Irsyad pada diskusi tentang PPDB untuk pemerataan kualitas pendidikan yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
 
Irsyad menjelaskan, dalam Merdeka Belajar ada dua dimensi, pertama yakni dimensi kualitas, dimana Kemendikbudristek ingin mendorong siswa untuk melakukan proses pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan karakter dan kompetensi individu.
 
“Ini biasa dikenal sebagai profil pelajar Pancasila, dimana kita tidak hanya ingin membentuk siswa yang memiliki kemampuan kognitif, tetapi juga memiliki karakter yang relevan dengan kebutuhan abad ke-21,” ujar dia.
 
Ia melanjutkan, dimensi kedua yakni keadilan. Selain kualitas yang meningkat, diharapkan merdeka belajar juga mampu memastikan bahwa kualitas pendidikan bisa merata dan dapat dirasakan oleh semua kelompok, sehingga dapat menutup kesenjangan antarwilayah.
 
“Kualitas dan pemerataan itu penting mengingat berbagai data dari dunia internasional, salah satunya Programme for International Student Assessment (PISA), menunjukkan bahwa pendidikan kita belum berada pada tahap ideal dalam hal hasil belajar,” ucapnya.

 
Data dari hasil asesmen nasional tahun 2021, didapatkan hanya 1 dari 2 siswa di Indonesia yang mampu mencapai kompetensi minimum dalam hal literasi, sedangkan dalam hal numerasi, sebanyak 2 dari 3 siswa belum mencapai kompetensi minimum. Data ini merupakan rata-rata pada semua jenjang pendidikan, dari SD hingga SMA.
 
“Bukan hanya kualitas hasil belajar yang menjadi permasalahan, tetapi juga pemerataan. Kesenjangan antardaerah masih terjadi, dimana performa sekolah terbaik di salah satu kabupaten di Indonesia Timur, setara dengan performa sekolah terburuk di salah satu kota di Provinsi DKI Jakarta,” tutur dia.
 
Ia juga menjelaskan, berdasarkan literatur yang dikaji oleh Kemendikbudristek, kesenjangan dimulai sejak siswa itu mendaftar di sekolah atau pada saat penerimaan peserta didik baru (PPDB).
 
“Karena PPDB itu kan menjadi pintu masuk siapa yang dapat diterima di sekolah tertentu, sehingga PPDB sangat penting dan relevan dalam konteks mengatasi kesenjangan,” paparnya.
 
Untuk itu, ia menyampaikan bahwa sejak tahun 2017 Kemendikbudristek telah melakukan reformasi sistem PPDB dengan mengkombinasikan berbagai pendekatan yang sesuai dengan konteks Indonesia, juga sebagai upaya untuk mengimplementasikan merdeka belajar.
 
Salah satunya yakni PPDB zonasi minimal 50-70 persen, yang sejalan dengan prinsip desentralisasi, yakni mendekatkan sekolah negeri sebagai unit layanan publik kepada masyarakat.
 
Kemudian, juga terdapat sistem PPDB afirmasi sebesar 15 persen, untuk mengantisipasi keterbatasan daya tampung sekolah negeri lintas zona yang berpotensi membuat anak-anak miskin putus sekolah karena tidak mampu masuk sekolah swasta.
 
Sistem PPDB selanjutnya yakni perpindahan orang tua, dengan persentase maksimal 5 persen, untuk mengakomodasi calon siswa yang pindah tempat tinggal dengan alasan pekerjaan orang tua, dan yang terakhir yakni PPDB prestasi, yang bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada anak-anak berprestasi yang ingin mengembangkan prestasinya di sekolah pilihan.


Baca juga: LLDIKTI: Merdeka Belajar Episode 26 beri kebebasan perguruan tinggi
Baca juga: Nadiem targetkan tiga aspek transformasi pendidikan tinggi
Baca juga: Kemendikbud: Ratusan ribu mahasiswa ikuti Program Kampus Merdeka

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023