Niamey (ANTARA News) - Sebuah jet tempur Nigeria yang mengambil bagian dalam operasi militer terhadap militan terkait Al Qaida di Mali jatuh di Niger barat, menewaskan dua orang awaknya, kata sejumlah pejabat Nigeria dan Niger, Senin.

Peristiwa itu menandai korban-korban pertama Nigeria, yang memiliki jumlah prajurit terbesar dalam pasukan regional Afrika Barat yang bersama-sama pasukan Prancis memerangi militan di wilayah gurun utara Mali.

Juru bicara Angkatan Udara Nigeria Marsekal Pertama Yusuf Anas mengatakan, pesawat yang nahas itu adalah jet Alpha yang ditempatkan di Niger sebagai bagian dari skwadron Nigeria yang mendukung misi tersebut di Mali.

"Penyelidikan masih dilakukan untuk mencari tahu apa yang terjadi. Pesawat itu sedang dalam penerbangan rutin normal sekitar 60 kilometer sebelah barat Niamey ketika sesuatu terjadi," kata Anas kepada Reuters.

Ketika ditanya apakah ada bukti mengenai tembakan anti-pesawat, ia mengatakan, "Kami tidak tahu, namun itu terjadi di dalam wilayah Niger."

Satu sumber keamanan Niger mengatakan, jet tempur itu jatuh di dekat Dargol di wilayah Tillabery yang berbatasan dengan Mali.

"Pesawat itu tidak ditembak. Itu bukan wilayah musuh, maka untuk sementara ini kami menganggap penyebabnya mungkin gangguan mekanik," kata seorang pejabat keamanan lain dari Niger yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Lebih dari 8.000 prajurit Afrika, termasuk dari Nigeria, saat ini berada di Mali untuk memerangi militan garis keras, dan resolusi PBB menetapkan kekuatan maksimum 11.200 personel militer dengan 1.440 polisi.

Pasukan Afrika barat yang sudah berada di Mali akan membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang kini berjumlah 4.000 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera". (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013