konservasi alam berarti meyakinkan orang untuk 'mencintai tanah dan tidak akan pernah mengangkat kaki dari bumi'
Pagi dini hari 8 Mei 2013, sebuah pesan singkat dari Eka Budianta, budayawan yang juga dikenal sebagai pegiat lingkungan, masuk. Isinya mengabarkan bahwa Suryo W. Prawiroatmodjo, seorang pendidik lingkungan hidup terkemuka di Indonesia, meninggal dunia.

"Jenazah disemayamkan di rumah duka Dharmais, Jakarta. Tolong pesan diteruskan kepada teman-teman," demikian pesan dari Eka Budianta pagi itu.

Dengan cepat pesan tersebut berpindah dari satu orang ke orang lain khususnya di kalangan pegiat lingkungan, wartawan dan pemerhati lingkungan yang sempat mengenal Suryo.

Dokter hewan lulusan Universitas Airlangga di Surabaya itu sudah lama menderita sakit, tetapi ia tidak berhenti membaktikan diri dalam pendidikan lingkungan hidup.

Lajang kelahiran Surabaya pada 22 Juni 1956 itu mengawali karirnya sebagai dokter hewan untuk satwa liar di kebun binatang tahun 1981-1983 dan sebagai humas produk pakan ternak, tetapi kecintaannya pada lingkungan membuat ia melepas karirnya tersebut.

Pada tahun 1988 ia mendirikan Lembaga Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) di desa Seloliman, Trawas, kabupaten Mojokerto yang menjadi satu-satunya dan pertama di Indonesia saat itu. Fasilitas pendidikan lingkungan yang berada di kaki gunung Penanggungan itu menjadi "rumah" untuk mengenalkan lingkungan hidup secara luas dengan peserta bervariasi dari murid sekolah hingga kaum profesional.

"Wafatnya Suryo mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk membela lingkungan hidup masih jauh dari sukses. Kita kehilangan perintis, pejuang dan praktisi yang luar biasa," kata Eka Budianta salah seorang sahabatnya.

Pada tahun 1990, pria bernama lengkap Suryo Wardhoyo Prawiroatmodjo ini mendapatkan penghargaan internasional Rolex Awards atas kepedulian dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup selama beberapa tahun.

Lingkungan hidup bukan sekedar "menanam pohon", kata pelopor pendidikan lingkungan hidup di Indonesia itu. Baginya konservasi alam berarti meyakinkan orang untuk "mencintai tanah dan tidak akan pernah mengangkat kaki dari bumi," demikian pendapat Suryo yang terpampang pada laman Rolex Awards for Enterprises.

Dua tahun kemudian perjuangannya bagi lingkungan hidup di Indonesia kembali mendapat pengakuan internasional, kali ini dari Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) The Global 500 Award, yang diterimanya di ibukota Brasil, Rio de Janeiro pada 1992.

Kecintaannya pada lingkungan hidup dilengkapi dengan serangkaian pendidikan terkait yaitu ia sempat mempelajari tata kelola konservasi satwa, di institut Smithsonian, Universitas West Virginia, tepatnya pada pusat penelitian dan konservasi Front Royal, Shenandoah, AS pada 1986. Juga Tata kelola Pendidikan Lingkungan Hidup di Cheltenham, Gloucestershire, Inggris pada 1987.

Pada pertengahan 1990-an Suryo mulai mengurangi aktivitasnya karena keadaan fisik yang melemah akibat sakit yang dideritanya, tetapi ia terus berjuang dalam pendidikan lingkungan.

"Sobat yang teramat langka," kata Ludfy Baria salah seorang wartawati senior di Surabaya mengenai sosok Suryo.

"Suryo telah membaktikan hidupnya untuk kelestarian Indonesia. Kita lanjutkan cita-citanya," kata Eka.

Belum ada informasi dari pihak keluarga mengenai rencana pemakaman Drh. Suryo W.Prawiroatmodjo.

(M007)

Oleh Maria D. Andriana
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013