Malinau (ANTARA) - "Tei tero piah pedon kucu,
Keting tero tali peku’ung,
Nyet nuan wo tei an timan,
Yu tukung tero, Ricuk Belinau Nyou tero kanan pekecet, Menyou liyo tero fou perun, Petu’a tero petulat an tero, Buat tero piah perepi nyepru".


Itu adalah bait lagu dari Suku Punan, salah satu sub suku Dayak di Kalimantan Utara yang maknanya:
"Mari kita bergandeng tangan,
Rekatkan tali persatuan,
Tatap arah masa depan,
Untuk desa kita, Hulu Malinau
Hilangkan rasa saling benci,
Tak perlu sombong tinggi hati,
Kuatkan rasa saling berbagi,
Tradisi kita saling mengasihi)


Lagu itu mewarnai upacara adat terkait adanya kepastian sebagian wilayah Metut dihibahkan untuk Nahakramo Baru, Kecamatan Malinau Selatan Hulu Kabupaten Malinau Kalimantan Utara.

Wilayah desa yang mereka tempati saat ini, sudah resmi dihibahkan Desa Metut pemilik wilayah ke Nahakramo Baru.

Kedua desa bertetangga ini telah menandatangani dokumen berita acara hibah yang disaksikan Camat Malinau Selatan Hulu, Umar Ali, dan para pemangku adat dari kedua desa, belum lama ini.

Bagi warga Nahakramo Baru penandatanganan berita acara hibah ini menjadi bahan guna pengajuan Surat Keputusan (SK) Bupati Malinau untuk wilayah administratif desa.


Awalnya, warga Nahakramo Baru dulu berasal dari bagian warga Pelencau yang satu sub etnis dengan warga Metut, yakni Dayak Punan. Sama seperti desa-desa lainnya di pedalaman Kalimantan-- perpindahan penduduknya cukup tinggi.

Keterbatasan sumber penghidupan dan menghindari bencana alam adalah alasan mereka meninggalkan desanya nun jauh di belantara Kalimantan Utara.

Sama seperti dirasakan sebagian warga Pelencau. Pasalnya daerah mereka dulu sering dilanda banjir dan terparah pada 1999 karena hampir semua rumah hanyut dan infrastruktur desa rusak parah.

Alasan pindah secara bertahap ternyata sebenarnya juga mulai berjalan pada awal 1970-an , terkait program Pemerintahan Orde Baru, yakni pemukiman masyarakat terasing.

Kala itu, upaya Pemerintahan Orde Baru untuk merelokasi atau lebih tepatnya berupaya memindahkan warga berladang ke pemukiman "layak huni" kurang berhasil, salah satu alasan, pemukiman jauh dari lokasi mereka meramu hasil hutan. Hanya sebagian kecil yang mau pindah.

Pergerakan warga Nahakramo Baru ke lokasi yang sekarang meningkat drastis ketika banjir bandang mendera Sungai Malinau pada 1999.

Banyak desa-desa di hulu yang hanyut terbawa air bah. Termasuk Long Jalan, Long Lake, Pelancau di Long Keramu hingga Punan Adiu. Semua desa ini pindah wilayah pemukiman.

Pemukiman warga di Long Karamoh terpecah ke Liu Mutai, ke Bengawat dan Loreh. Liu Mutai ini adalah Rt 02 Desa Pelancau menempati wilayah Desa Metut.

Mereka minta izin untuk tempat tinggal dan berladang. Desa Metut memberikan izin tinggal dan berladang. Ketika pemekaran kecamatan Malinau Selatan menjadi Malinau Selatan Hulu, Malinau Selatan dan Malinau Selatan Hilir, RT 2 Pelencau ini menjadi desa baru.

Bupati Malinau saat itu, Martin Bila, memberi nama RT 02 Pelencau menjadi Desa Nahakramo Baru pada tahun 2010.

Selanjutnya, untuk pengesahan yang lebih kuat Metut dan Nahakramo Baru sepakat membuat surat hibah tahun 2015. Metut menghibahkan wilayah desanya seluas 1.300 hektare.

Hasil pendataan sementara, Nahakramo ada 55 kepala keluarga (KK) dengan 210 jiwa, sedangkan desa induk Metut tercatat 95 KK dengan 339 jiwa.


Surat hilang terbakar

Surat hibah dipegang oleh masing-masing desa. Sayangnya berkas hibah yang dipegang Desa Nahakarmo Baru hilang, sedangkan yang di Metut terbakar ketika kantor desa terbakar.

Tanpa ada dokumen, maka proses untuk pengajuan wilayah administrasi desa akan sulit dijalankan.

Terkait hal itu, sebuah lembaga non profit yang melakukan kegiatan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan di Malinau Kaltara, yakni Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI-Warsi) berinisiatif mencari solusi masalah itu.

Warsi berhasil menjembatani kedua desa untuk melakukan pembaruan berita acara hibah. Proses ini berjalan cukup panjang karena mulai muncul pemikiran-pemikiran baru di kedua belah pihak.

Namun dengan fasilitasi yang terus menerus, serta dukungan Camat Malinau Selatan Hulu akhirnya disepakati bahwa narasi hibah dan wilayah yang dihibahkan dikembalikan sesuai dengan narasi hibah tahun 2015 dan ditandatangani oleh semua pihak.

Anna Dian Setiawati, Project Officer KKI Warsi yang bekerja di wilayah ini menilai kepastian dan pengakuan wilayah menjadi sangat penting untuk kedua desa, untuk kepastian wilayah administratif desa. Pengakuan wilayah administratif desa merupakan pintu gerbang untuk perencanaan pembangunan desa.

Meski sempat maju mundur, karena adanya perbedaan pandangan terkait wilayah ini, akhirnya semua bersepakat untuk menandatangani berita acara hibah ini.

Dengan hibah ini, selanjutnya Nahakramo Baru bisa mengajukan wilayah administratif ke Bupati Malinau. Sedangkan bagi Metut, hibah ini mempertegas wilayah mereka.

Warsi berhasil mengurai penyelesaian batas desa ini per segmen, sehingga masing-masing desa yang berbatasan menyepakati batas mereka. Saat ini yang tinggal berita acara batas wilayah Metut dengan Laban Nyarit. Sebenarnya narasi batasnya sudah di sepakati, tinggal dilakukan penandatanganan saja.

Tahun lalu, Metut dan Tanjung Nanga juga sudah mendatangani berota acara batas ke dua desa. Ketika batas desa sudah temu gelang, barulah desa bisa mengajukan ke Bupati Malinau untuk SK penetapan wilayah administratif desa.

Camat Malinau Selatan Hulu, Umar Ali, juga merasakan haru yang mendalam kala penandatangan hibah Desa Metut ke Nahakramo Baru ini.

Bagi Umar Ali, penandatanganan yang didukungnya sepenuh hati ini merupakan kado terindah menjelang purna tugas sebagai aparatur negara yang memasuki masa pensiun di September 2023.

Harapan dia semua masyarakat bisa berdamai, aman mengelola wilayahnya masing-masing sehingga ke depannya mereka bisa lebih baik dalam mengelola desa.

Kepala Desa, Metut Kamilus, mengungkapkan bahwa hibah ini sebagai bentuk jalinan persaudaraan dengan Nahakramo Baru.

Ia selalu mengingatkan bahwa mereka adalah saudara, hibah ini dilakukan karena adanya rasa persaudaraan serumpun satu darah. Harapan terbesar mereka masing-masing warga di dua desa maju bersama. Nahakramo Baru bisa juga berkembang dan punya wilayah administratif sendiri.


Tidak ragu lagi

Hibah ini disambut baik oleh warga Nahakramo Baru seperti dituturkan Ketua RT 01 Nahakramo Baru, Samuel.

“Puji Tuhan, dengan hibah ini kita tidak ragu-ragu lagi, selama ini kita ragu dan takut untuk membangun karena kita belum pasti apakah ini hak kita apa tidak, ” tutur Samuel.

Dalam berita acara hibah disebutkan bahwa peninggalan lama Metut yang terdapat di wilayah Nahakramo, semisal kuburan lama tetap dipelihara, dan tidak boleh untuk dialihkan. Sedangkan untuk berladang warga Nahakramo bisa tetap berladang di dalam wilayah desanya tanpa perlu minta izin ke Metut.

“Jika ada ladang atau jakau warga Metut yang ada di wilayah Nahakramo tetap menjadi milik warga yang bersangkutan, demikian juga bekas ladang warga Nahakramo Baru yang berada di wilayah Metut tetap menjadi milik warga yang bersangkutan,” demikian bunyi berita acara hibah tersebut.

Wilayah Adat Bersama Nahakramo Baru dan Pelencau  selain menandatangani berita acara hibah, Desa Nahakramo Baru dan Pelencau juga membuat kesepakatan terkait dengan pengelolaan wilayah adat bersama.

Pelencau saat ini merupakan wilayah kosong, namun mulai ada sebagian warga Pelencau yang bermukim di Loreh pindah kembali ke wilayah asalnya.

Sedangkan Nahakramo Baru sudah berada di desanya sekarang. Untuk itulah Nahakramo dan Pelencau bersepakat untuk mengelola wilayah bersama mereka, sebagai wilayah yang diwariskan nenek moyangnya.  

Wilayah adat Pelencau ini berbatasan dengan Metut. Untuk itulah Metut dan Pelencau juga melakukan penandatangan berita acara batas.

"Persamaan darah" atau satu sub etnik diakui menjadi proses hibah desa lebih mudah. Hal itu diakui Kepala Desa Nahakramo Baru, Alang Unyat. “Karena kami dari keturunan yang sama, maka kami sepakat dengan Pelencau untuk mengelola wilayah adat bersama,” ucapnya. 

Penandatanganan kedua berita acara ini menghadirkan senyum sekaligus haru bagi warga desa di hulu Malinau ini. Suara merdu penyanyi Samsilidiathi yang membawa lagu "Kengihih Tero Piah" yang artinya "Semangat Kita Semua"mengiringi penandatanganan berita acara itu.


Kini warga Nahakramo menatap asa baru, karena dengan pengakuan administratif, maka memudahkan pemerintah daerah mengalokasikan berbagai program, antara lain infrastruktur desa maupun program kesehatan dan pendidikan.

Hal terpenting, tentu adanya pengakuan administrasi desa sangat berpengaruh bagi upaya peningkatan kesejahteraan mereka, karena sektor pembangunan berkaitan erat dengan peningkatan sektor ekonomi, termasuk berbagai bantuan koperasi atau perusahaan akan diawali dengan tertib administratif desa.

Kini tidak ada keraguan bagi warga Nahakramo lagi dalam mengelola tempat tinggal mereka sekarang serta melupakan trauma masa lalu karena daerahnya sering didera bencana alam.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023