Selama dua dasawarsa terakhir, Indonesia telah menjadi salah satu pemasok pekerja migran terbesar di dunia. Oleh karena itu, pekerja migran merupakan bagian penting dalam ketenagakerjaan Indonesia yang harus dilindungi oleh pemerintah, termasuk denga
Jakarta (ANTARA News) - Organisasi Buruh Internasional (ILO) mendorong pemerintah Indonesia untuk mengoptimalkan peran kesepakatan bilateral dan multilateral sebagai perangkat untuk memberi perlindungan yang lebih baik kepada pekerja migran Indonesia di negara-negara tujuan.

"Selama dua dasawarsa terakhir, Indonesia telah menjadi salah satu pemasok pekerja migran terbesar di dunia. Oleh karena itu, pekerja migran merupakan bagian penting dalam ketenagakerjaan Indonesia yang harus dilindungi oleh pemerintah, termasuk dengan memanfaatkan kesepakatan bilateral maupun multilateral," kata Deputi Direktur ILO Indonesia Michiko Miyamoto di Jakarta, Rabu.

Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam talkshow bertema "Optimalisasi Perlindungan Pekerja Migran Melalui Kesepakatan Bilateral dan Multilateral".

Dia memaparkan sebagai negara pengirim pekerja migran kedua terbesar, Indonesia mengirim sekitar 700 ribu pekerja migran tiap tahunnya untuk bekerja di luar negeri, terutama ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan Timur Tengah. Dari keseluruhan pekerja itu, 78 persen bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

"Walaupun pekerja rumah tangga migran merupakan penyumbang kedua terbesar devisa Indonesia, banyak dari "pahlawan devisa" ini mengalami eksploitasi dan penganiayaan selama proses migrasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri,`" ujarnya.

Menurut dia, ILO terus berupaya mengampanyekan perlindungan bagi para pekerja migran yang adalah suatu kelompok kerja yang harus meninggalkan rumah dan Tanah Air untuk menghidupi diri dan keluarganya.

Michiko menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia dapat mengacu pada dokumen ILO berjudul "Kerangka Multilateral, Sebuah Panduan dan Prinsip dasar Tentang Pendekatan Hak atas Migrasi Pekerja" yang berisi mengenai penguatan perjanjian bilateral dan multilateral serta pendekatan regional, dimana salah satu elemen penting didalamnya menyangkut upaya menciptakan perlindungan bagi pekerja migran.

Senada dengan Michiko, Koordinator Program ILO mengenai Pekerja Migran Albert Y. Bonasahat berharap pemerintah dari seluruh negara anggota ILO, termasuk Indonesia, dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memantau para warga negaranya yang sedang menjadi pekerja migran di luar negeri.

"Kami harap pemerintah Indonesia juga terus melakukan upaya-upaya ke arah pengembangan mekanisme perlindungan pekerja migran," ucapnya.

Dia mengatakan pihaknya menyadari bahwa memang ada kondisi yang membuat para pekerja migran seringkali sulit untuk terpantau karena sebagian besar pekerja migran bekerja dalam sektor rumah tangga di rumah-rumah pribadi.

Namun, dia mengatakan walaupun ada kesulitan dan tantangan besar tersebut, pemerintah tetap harus memastikan bahwa para pekerja migran terlindungi dan mendapatkan hak-haknya.

Sementara itu, Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Kerja sama Internasional Penempatan Kerja Luar Negeri (PTKLN) dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Nyoman Darmanta mengatakan bahwa pemerintah dalam melakukan penempatan pekerja migran hingga saat ini masih merujuk pada UU No.39 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.

Pada pasal 23, kata dia, dinyatakan bahwa penempatan TKI ke luar negeri harus didasari perjanjian antara negara asal dan negara tujuan, atau negara tujuan memang memiliki undang-undang yang dapat melindungi pekerja migran.

"Ketika negara penempatan tidak memiliki undang-undang yang melindungi pekerja migran maka pemerintah melakukan penempatan berdasarkan MoU (nota kesepahaman,red)," jelasnya.

Dia menyampaikan bahwa hingga saat ini Indonesia sudah memiliki 11 MoU dengan 10 negara penempatan pekerja migran, dimana terdapat dua MoU dengan Malaysia, yaitu untuk sektor formal dan informal.
(Y012/Z003)

Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013