memastikan masa depan pekerjaan yang didasarkan pada keadilan sosial dan mendorong kesetaraan gender
Jakarta (ANTARA) - Survei yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menemukan hasil bahwa mayoritas perempuan Indonesia memilih berhenti bekerja demi pekerjaan perawatan.

Penjabat Sementara Direktur ILO untuk Indonesia Diego Rei dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, Rabu mengatakan survei menjangkau 2.217 responden yang mewakili beragam pekerja dari berbagai sektor, termasuk pekerja rumah tangga, pekerja perawatan, pekerja kreatif dan wirausaha.

Sekitar 67,5 persen responden adalah perempuan dan 67,4 persen bekerja di perekonomian informal di 34 provinsi. Sebagian besar responden berusia 27-42 tahun (58,2 persen), diikuti kelompok usia 18-26 tahun (27,5 persen), selama 1,5 bulan dari 15 September hingga 3 November 2023.

“Survei ini merupakan bagian dari dukungan ILO kepada Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan merumuskan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional tentang Pekerjaan Perawatan. Temuan-temuan utama dari survei ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi tindakan yang tepat dalam mempromosikan pekerjaan perawatan di Indonesia dan mengembangkan kebijakan transformatif yang penting untuk memastikan masa depan pekerjaan yang didasarkan pada keadilan sosial dan mendorong kesetaraan gender untuk semua,” ujar Diego.

Dari survei tersebut sebagian besar responden perempuan (67,3 persen) mengatakan mereka tidak merasa memiliki jam kerja yang lebih panjang dalam melakukan pekerjaan perawatan dibandingkan laki-laki.

Baca juga: Kementerian PPPA: Kesenjangan gender dalam pekerjaan masih tinggi
Baca juga: Menaker: Negara hadir cegah diskriminasi terhadap pekerja perempuan


Selain itu, 68,3 persen responden laki-laki menyatakan bahwa wajar jika perempuan meninggalkan pekerjaan berbayarnya demi tanggung jawab perawatan sebagai bagian dari kewajibannya sebagai ibu atau anak perempuan.

Menariknya, hasil survei juga menjelaskan. jumlah persentase responden perempuan yang hampir sama (66,2 persen) mempunyai gagasan serupa bahwa mereka harus memprioritaskan kewajiban perawatan dibandingkan karier. Ini sejalan dengan 80,5 persen responden yang percaya bahwa perempuan secara alami cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan dan perawatan.

Lebih lanjut, studi ini menunjukkan bahwa cuti melahirkan dan cuti ayah serta jam kerja fleksibel merupakan program yang paling dikenal dan paling banyak diberikan bagi pekerja formal dan informal. Namun, 28,8 persen responden mengatakan bahwa perusahaan mereka tidak menyediakan program perawatan apapun, sementara 16,3 persen tidak mengikuti program tersebut karena pemotongan gaji.

Alasan-alasan ini berlaku baik bagi pekerja formal maupun informal di mana 30,1 persen pekerja formal dan 28,2 persen pekerja informal mengatakan bahwa tempat kerja mereka tidak menyediakan program perawatan; sementara 15,4 persen pekerja formal dan 16,8 persen pekerja informal memilih untuk tidak mengikuti program ini karena pemotongan gaji, demikian dalam studi tersebut.

Baca juga: Sandiaga Uno tekankan peran besar perempuan di sektor pariwisata-ekraf
Baca juga: ILO fokus tingkatkan peran perempuan di sektor perikanan dan sawit


Survei tersebut merupakan bagian dari penyusunan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Indonesia mengenai Ekonomi Perawatan yang dipimpin oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang menegaskan pentingnya menyeimbangkan pekerjaan dengan perawatan yang berperan penting bagi masyarakat dan perekonomian untuk berkembang dan menyempitkan kesenjangan signifikan dalam layanan perawatan dan kebijakan guna mengurangi kemiskinan, mendorong kesetaraan gender dan mendukung perawatan bagi anak-anak dan orang lanjut usia.

ILO memperkirakan bahwa investasi pada layanan pengasuhan anak secara universal dan layanan pengasuhan jangka panjang di Indonesia dapat menciptakan 10,4 juta lapangan kerja pada 2035.

Investasi dalam paket kebijakan pengasuhan anak universal dan komprehensif dapat meningkatkan tingkat lapangan kerja perempuan dari 49 persen pada 2019 menjadi 56,8 persen pada 2035 dan kesenjangan gender dalam upah bulanan dari 20,6 persen pada 2019 menjadi 10 persen pada 2035.

Baca juga: Menaker: Masih ada diskriminasi berbasis gender bagi pekerja perempuan
Baca juga: Menteri PPPA: Jangan ada diskriminasi terhadap perempuan pekerja
Baca juga: Dunia usaha diminta berkomitmen pada pengarusutamaan gender

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023