Jakarta (ANTARA) - Bulan sembilan hampir tandas di tengah dahsyatnya kemarau yang mendera kawasan Kapuk Teko yang terendam banjir sejak puluhan tahun silam.

Kapuk Teko, atau yang sering disebut sebagai "Kampung Apung," menggantungkan cerita-cerita mendalam tentang kerinduan dari 127 keluarga untuk merasakan kembali tanah di bawah kaki mereka.

Terletak di sisi barat Jakarta tepatnya di RT 010 RW 001 Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Kampung Apung yang bersembunyi di balik gang kecil, dahulu dikenal sebagai tempat yang sejuk, asri, dan nyaman. Akan tetapi, kini pemandangan itu berubah menjadi kepungan air banjir yang menjelma sebagai saksi bisu perubahan zaman.

Bukan hanya rumah-rumah penduduk berjumlah ratusan yang menyambut kedatangan kita saat melangkah ke dalam kawasan ini, mata kita juga disuguhi oleh tempat permakaman yang terendam banjir sejak tahun 1996. Hal ini merupakan kisah kelam yang tenggelam dalam aliran waktu.

Di tengah kemarau seperti ini, separuh dari makam yang terendam air terlihat jelas seolah mengungkapkan rahasia tersembunyi di bawahnya. Namun, ketika musim hujan tiba, makam-makam tersebut kembali tertutup oleh aliran air, menyembunyikan pusara di balik kerumunan tanaman eceng gondok yang tumbuh subur, seakan menggambarkan siklus kehidupan yang tak pernah berhenti.

Air yang melimpah di kawasan ini muncul sebagai akibat dari pesatnya pembangunan perumahan dan industri di sekitar Kampung Apung, ditambah aktivitas pengurukan jalan yang tak berkesudahan. Posisi yang rendah dari jalan raya, menjadikan kawasan tersebut sebagai resapan alami bagi air hujan yang datang dari ketinggian.

Dengan peristiwa yang pahit itu, warga terpaksa merogoh dalam kocek pribadi mereka untuk melakukan pengurukan tanah setinggi dua meter serta membuat rumah panggung sebagai bentuk usaha dalam mempertahankan tempat tinggalnya yang berstatus hak milik itu agar tidak terendam air.

Di tengah belenggu air yang mengelilingi mereka, warga justru mengeluhkan tentang akses air bersih yang tidak dapat dijangkau di wilayah ini. Mereka terpaksa membeli air bersih dengan harga Rp6.000 per pikul, sementara dalam sebulan mereka membutuhkan antara 15 sampai 20 pikul air.
Warga berjalan di depan rumahnya di Kampung Apung, Kapuk Teko, Jakarta, Senin (23/5/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa

Dilema relokasi

Pada era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, tahun 2014, air di Kampung Apung perlahan mulai surut karena upaya penyedotan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Barat.

Proses itu mengubah lanskap kawasan yang selama bertahun-tahun tergenang oleh air, membawa perubahan signifikan bagi warga yang selama itu berjuang untuk menjaga rumah-rumah mereka dari banjir yang tak henti menghampiri.

Pemerintah sendiri mengusulkan untuk melakukan relokasi kepada warga Kampung Apung karena tidak akan ada penataan wilayah yang dapat dijalankan, terutama karena wilayah tersebut akan terkena dampak dari proyek pembangunan jalan penghubung dari arteri Pondok Indah menuju Bandara Soekarno-Hatta. Namun hingga saat ini proyek pembangunan tersebut tak kunjung terlihat.

Untuk rencana relokasi, warga akan dipindahkan ke hunian vertikal berupa rumah susun yang terletak di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat.

Tawaran ini merupakan langkah strategis untuk memberikan solusi atas tantangan lingkungan yang dihadapi oleh penduduk setempat, dengan harapan dapat memperbaiki kualitas hidup mereka serta memberikan stabilitas dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan yang signifikan.

Namun, Ketua RT 010 Rudi Suwandi mengatakan warga enggan menerima relokasi tersebut karena masalah biaya sewa rumah susun yang dianggap sangat memberatkan bagi keuangan mereka.

"Kami tinggal disini kan sudah turun temurun, sejak kecil. Kalau direlokasi harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan harus mengeluarkan biaya sewa bulanan untuk rumah susun,” ungkap Rudi.

Saat ini warga hanya minta disediakan pompa air sebagai langkah preventif agar tempat tinggal mereka tidak lagi dikepung oleh banjir.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh warga asli Kampung Apung, Nani, yang menyatakan bahwa ia enggan untuk pindah dari rumah karena telah menjadi tempat tinggalnya sejak kecil.

“Walaupun saya tinggal di rumah yang sudah di uruk 2 meter, saya tidak mau pindah, karena di tempat lain belum tentu senyaman di sini,” kata Nani.

Nani berharap, agar rumah yang saat ini ditempatinya dapat kembali seperti semula, bebas dari banjir yang telah menghantui selama bertahun-tahun, agar tragedi dua balita yang meninggal dunia akibat terjatuh dan tenggelam tidak akan terulang lagi.

“Keinginan saya sih bisa kering seperti semula, supaya anak-anak bisa bermain dengan nyaman, aman setiap sore di depan rumahnya,” lanjut Nani.
Sejumlah petugas mengangkat lumpur yang masih menutupi sebagian areal Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kapuk Teko, Kampung Apung, Jakarta Barat, Rabu (14/5). Sebanyak 3.810 makam yang terendam selama 24 tahun itu sudah mulai menyusut dan pihak Pemkot Jakbar akan segera melakukan relokasi ke TPU Tegal Alur. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga


Perlu kajian ulang

Pengamat tata kota, Nirwono Yoga, menyarankan dalam kasus Kampung Apung, Pemerintah Provinsi DKI seharusnya melakukan kajian ulang untuk menentukan dengan pasti status dan peruntukan yang akan diberikan kepada lokasi tersebut.

Jika tanah tersebut adalah kepemilikan negara, lanjut Nirwono, maka pemerintah daerah berwenang untuk merelokasi warga ke hunian vertikal, rusunawa, atau kampung susun terdekat yang aman dari ancaman banjir, atau bahkan membangun hunian baru di lokasi yang lebih aman dari bencana banjir.

“Harus dipastikan dulu status lahan milik warga di Kampung Apung, selanjutnya periksa sertifikat hak milik nya setelah itu lakukan konsolidasi dengan warga,” kata Nirwono.

Dia melanjutkan bahwa, apa pun langkah yang akan dipilih atau diambil oleh pemerintah daerah, harus dipastikan tidak melanggar aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah ditetapkan sebelumnya.

“Misalnya membangunkan rusun di situ padahal tidak sesuai dengan tata ruang maka pihak pemda bisa dianggap melanggar aturan dan merugikan negara,” ungkap Nirwono.

Dengan demikian, jika status dan peruntukan kampung tersebut untuk hunian maka Kapuk Teko dapat diremajakan atau direvitalisasi dengan membangun hunian vertikal dalam bentuk rusunawa atau kampung susun terpadu, yang mencakup tidak hanya tempat tinggal, tetapi juga sekolah, pasar, ruang kerja kreatif, taman, kebun, dan lapangan olahraga.






 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023