Jakarta (ANTARA) - Sudah 50.000 orang lebih dari total 120.000 penduduk etnis Armenia di Nagorno-Karabakh, yang meninggalkan tanah airnya setelah kantong etnis Armenia di Azerbaijan itu dikuasai sepenuhnya oleh Azerbaijan.

Wilayah seluas 4.400 km persegi itu resminya bagian Azerbaijan. Namun, Armenia dan penduduk etnis Armenia di Karabakh, menamakan daerah itu sebagai Republik Artsakh atau Republik Nagorno-Karabakh.

Sampai 1988 wilayah itu secara de facto diperintah etnis Armenia yang menjadi mayoritas dengan mengambil porsi 94,7 persen dari total populasi Nagorno-Karabakh. 5,3 persen lainnya adalah etnis Azeri.

Selama berabad-abad, warga etnis Azeri yang Muslim dan warga etnis Armenia yang beragama Kristen Ortodoks, bersaing memperebutkan Nagorno-Karabakh.

Jauh sebelum itu, selama ratusan tahun, Karabakh adalah wilayah Kerajaan Persia (kini Iran), tetapi pada 1805, wilayah itu menjadi protektorat Imperium Rusia.

Setelah Perang Rusia-Persia pada 1804-1813, Karabakh sepenuhnya masuk Imperium Rusia sejak 1823. Namun, manakala Imperium Rusia bubar pada 1918, ketegangan antara etnis Armenia dan Azeri di Karabakh menjadi memuncak.

Tiga tahun kemudian setelah kaum Komunis menguasai Rusia untuk membentuk Uni Republik Sosialis Soviet atau Uni Soviet, Nagorno-Karabakh dimasukkan sebagai bagian Republik Sosialis Soviet Armenia.

Status itu berubah setelah Uni Soviet diperintah Joseph Stalin. Pada 1923, Stalin memaklumatkan Nagorno-Karabakh sebagai otonomi khusus dalam Republik Sosialis Soviet Azerbaijan.

Perubahan itu tak memadamkan bara nasionalisme etnis Armenia. Benar saja, tatkala Uni Soviet di ambang ambruk pada akhir 1980-an, etnis Armenia di Kabarakh mengajukan petisi masuk Republik Soviet Armenia.

Pemerintah Soviet Azerbaijan tak menolerir petisi itu. Mereka memberangus gerakan separatisme itu pada 1988.

Walaupun separatisme itu berhasil dipadamkan, permusuhan antara kedua etnis tak pernah pupus. Sebaliknya, konflik besar-besaran pecah pada 1991 ketika Azerbaijan dan Armenia memerdekakan diri dari Uni Soviet.

Empat tahun kemudian, pada 1994, Armenia dan Azerbaijan menandatangani gencatan senjata Protokol Bishkek yang dimediasi Rusia. Protokol ini memutuskan Nagorno-Karabakh dalam penguasaan Azerbaijan.

Namun, konflik terus saja terjadi, termasuk perang singkat pada 2 April 2016, disusul perang September 2020 yang berakhir pada 10 November 2020 setelah Azerbaijan dan Armenia di bawah mediasi Rusia, menyepakati gencatan senjata.

Perang itu sendiri membuat Azerbaijan mendapatkan lagi wilayah-wilayah sekitar Nagorno-Karabakh yang direbut etnis Armenia dan menduduki kembali sepertiga wilayah Nagorno-Karabakh.

Ternyata itu bukan perang yang terakhir. Memanfaatkan Rusia yang fokus memerangi Ukraina, Azerbaijan memblokade Koridor Lanchin pada Desember 2022.

Koridor ini menjadi satu-satunya jalur penghubung Nagorno-Karabakh ke Armenia dan dunia luar. Armenia adalah Rusia dan sama-sama menjadi anggota Organisasi Pakta Keamanan Kolektif (CSTO).

Sejak 15 Juni 2023, blokade Koridor Linchin oleh Azerbaijan kian intensif, sehingga menutup sama sekali akses pangan, bahan bakar, dan obat-obatan ke Nagorno-Karabakh.

Akhirnya, pada 19 September 2023, Azerbaijan melancarkan operasi militer kilat yang sehari kemudian berpuncak pada kesepakatan penghentian permusuhan, yang ditengahi pasukan perdamaian Rusia di Nagorno-Karabakh.

Azerbaijan berjanji akan menghormati hak-hak warga etnis Armenia, tetapi kebanyakan warga etnis Armenian di Karabakh tak mempercayai janji itu.

"99,9 persen (warga etnis Armenia) lebih memilih meninggalkan tanah leluhur kami itu," kata David Babayan, penasihat Samvel Shahramanyan, yang menjadi Presiden Republik Artsakh, kepada Reuters, belum lama ini.


Kekhawatiran pembersihan etnis

Sekalipun kecil, secara geopolitik Nagorno-Karabakh sangat penting karena dekat dengan jalur pipa dan gas, serta berdekatan dengan tiga raksasa kawasan yang berebut pengaruh di kawasan Trans-Kaukasia, yakni Rusia, Turki, dan Iran.

Rusia, yang menjadi pelindung Armenia sejak 1992, mengirimkan pasukan perdamaian ke Nagorno-Karabakh pada 2020. Salah satu tugas pasukan Rusia adalah memastikan Koridor Lanchin bebas diakses etnis Armenia di Nagorno-Karabakh.

Namun, Rusia kini tak berdaya karena perhatiannya teralihkan ke perang Ukraina. Rusia juga kini lebih memilih Azerbaijan ketimbang Armenia, karena tak puas terhadap Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan yang dituding berusaha mendekat ke Barat.

Semua keadaan itu membuat Rusia kali ini enggan campur tangan ketika Azerbaijan memblokade Koridor Linchin, bahkan memerintahkan pasukan perdamaian Rusia di Nagorno-Karabakh agar tidak melakukan apa-apa ketika Azerbaijan melancarkan perang kilat pekan lalu.

Uniknya, sikap Barat di Nagorno-Karabakh, sama-sama tidak jelas. Mereka juga lebih memilih Azerbaijan, termasuk Amerika Serikat yang lebih tertarik memperkuat Azerbaijan guna menangkal pengaruh Iran dan Rusia di kawasan Laut Kaspia dan Trans-Kaukasia.

Secara geografis, Azerbaijan memang berbatasan dengan Iran di selatan, selain dengan Rusia dan Georgia di utara, Armenia di barat, dan Laut Kaspia di timur. Azerbaijan juga memiliki kantong wilayah terpisah di Nakhchivan, yang dikepung Armenia dan Iran, serta berbatasan sepanjang 17 km dengan Turki di bagian utara.

Sedangkan Armenia yang menjadi patron etnis Armenia di Nagorno-Karabakh, adalah negara terkurung daratan yang berbatasan dengan Georgia di utara, Azerbaijan di timur, Turki di barat, dan Iran di selatan.

Kendati Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah meminta Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev agar menghentikan permusuhan di Nagorno-Karabakh dan menjamin akses bantuan kemanusiaan ke wilayah itu, AS sebenarnya khawatir kehilangan Azerbaijan yang penting dalam membendung Rusia dan Iran.

Azerbaijan dengan Iran memang jarang akur, apalagi setelah Azerbaijan mempererat hubungan dengan Israel, hingga dimensi keamanan. Bahkan, sukses Azerbaijan dalam merebut kembali sepertiga Nagorno-Karabakh pada 2020, di antaranya karena andil bantuan Israel.

Hubungan yang tidak terlalu baik itu diperburuk oleh kecurigaan Iran terhadap Azerbaijan dalam kaitannya dengan separatisme minoritas Azeri di Iran barat laut.

Sebaliknya, Azerbaijan berhubungan baik sekali dengan Turki. Heydar Aliyep, mantan presiden Azerbaijan yang juga ayahanda presiden negeri ini yang sekarang, bahkan menyebut Azerbaijan dan Turki sebagai "satu bangsa, dua negara."

Kedua negara itu memang memiliki satu akar bangsa dan bahasa. Selain itu, Turki menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Azerbaijan pada 4 Juni 1918. Turki pula yang menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Azerbaijan dari Uni Soviet pada 1991.

Sebagai sama-sama anggota NATO, Amerika Serikat tak mau berpandangan miring kepada Turki, sekalipun negara ini agresif memainkan pengaruhnya di Timur Tengah, Trans-Kaukasia, dan Asia Tengah.

Rumitnya hubungan dan tali temali kepentingan negara-negara besar itu membuat persoalan Nagorno-Karabakh terabaikan, tapi dalam keadaan ini Presiden Ilham Aliyev akhirnya bisa mencapai tujuannya menyatukan Nagorno-Karabakh ke dalam wilayah Azerbaijan.

Namun yang muncul kemudian dari konflik Nagorno-Karabakh kali ini adalah kekhawatiran terjadinya pembersihan etnis terhadap warga etnis Armenia, walau sepanjang konflik di Nagorno-Karabakh, kedua kubu sama-sama sering dituding melakukan pembersihan etnis.

Dunia perlu memastikan kekhawatiran seperti itu tak terjadi lagi di Nagorno-Karabakh.

​​​​​​​

Copyright © ANTARA 2023