London (ANTARA) - Di Mayfair, salah satu distrik perbelanjaan kelas atas tersibuk di London, sebuah bangunan berwarna rasberi dengan tiga karakter bahasa Mandarin yang menonjol pada bagian depannya menarik perhatian orang-orang yang lewat.

Bangunan itu merupakan toko flagship Bosideng, merek pakaian bulu angsa asal China. Didirikan pada 2012, toko Bosideng di Mayfair itu sempat ditutup sementara saat gejolak Brexit mencapai puncaknya. Kemudian pada 2022, toko itu dibuka kembali setelah direnovasi dan disempurnakan.

Dengan area perbelanjaan yang mencakup empat lantai di daerah yang terkenal sebagai pusat merek-merek kelas atas internasional, toko itu menunjukkan komitmen perusahaan tersebut untuk membangun citra merek kelas menengah ke atas.

"Sangat penting untuk memiliki toko fisik," ujar Aaron Hold, manajer toko flagship itu, seraya menjelaskan bahwa para pelanggan harus dapat menjajal pakaian yang dijual, merasakan dan menyentuh kainnya, serta melihat hasil keterampilan pembuatannya dan kualitasnya.

Di China, negara dengan industri pakaian yang sedang berkembang pesat, banyak perusahaan pakaian mencoba mengubah fokus bisnis mereka dari mengekspor tekstil menjadi membangun merek mereka sendiri di pasar internasional.

Bagi perusahaan seperti Bosideng, umpan balik pelanggan yang diterima secara langsung saat proses pemilihan dan pembelian di dalam toko sangat berharga, meskipun platform e-commerce luar negeri lebih hemat biaya.

"Kami mulai melihat lebih banyak pelanggan yang beragam dari seluruh penjuru dunia," kata Hold.

"Cara terbaik untuk memasuki pasar internasional adalah dengan benar-benar menyesuaikan diri dengan kebutuhan pelanggan," ujar Pietro Ferragina, seorang desainer Italia yang bekerja sama dengan Bosideng.
 
   Seorang model menampilkan kreasi Shuxuan G. di peragaan busana Fashion Scout China selama London Fashion Week di London, Inggris, 17 Februari 2023. (Xinhua/Li Ying)


Selama bertahun-tahun, selain Bosideng, beberapa merek pakaian China lainnya juga telah membuka toko retail di Amerika Serikat, Singapura, Thailand, Arab Saudi, dan sejumlah negara lainnya.

Namun, selain memiliki toko dan berinteraksi langsung dengan pelanggan di luar negeri, merek-merek asal China ini masih perlu bersabar dalam upayanya untuk meraih popularitas di pasar internasional.

Sebagai seorang desainer yang telah bekerja di industri fesyen internasional dan dengan sejumlah merek pakaian China selama beberapa dekade, Ferragina mengatakan butuh upaya yang signifikan untuk menjembatani budaya yang berbeda dan menyelaraskan merek-merek China dengan pasar luar negeri.

"Jadi, kita harus melakukannya selangkah demi selangkah dan dengan sangat perlahan. Tidak perlu menjadi yang pertama dan tercepat dalam melakukannya, tetapi kita harus menjadi pihak pertama yang melakukannya dengan baik," kata Ferragina.

Menurutnya, mengontrol mutu produk, memahami kebutuhan pelanggan, mampu memecahkan masalah, dan bersikap jujur kepada pelanggan adalah kunci untuk mempromosikan sebuah merek di pasar fesyen.
 
   Seorang model menampilkan kreasi Hanqing Ding di peragaan busana Fashion Scout China selama London Fashion Week di London, Inggris, 17 Februari 2023. (Xinhua/Li Ying)


Ketika ditanya mengenai harapannya terhadap merek-merek pakaian China di masa depan, Aminah Ali, seorang influencer gaya hidup di media sosial di London, mengatakan dia berharap merek-merek China dapat menghasilkan desain-desain yang lebih inovatif dan menggunakan bahan-bahan yang belum pernah dilihat oleh banyak orang.

"Gaya dan keunikan adalah hal yang saya cari," imbuhnya.

"Saya rasa prospeknya luar biasa," kata Ali Gordon, seorang blogger fesyen, ketika ditanya tentang masa depan merek-merek pakaian China. "Saya rasa mereka memproduksi pakaian berkualitas tinggi dan menggunakan bahan yang bagus. Dengan desain dan kualitasnya, mereka akan meraih kesuksesan besar." 

 

Pewarta: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023