Jakarta (ANTARA) - Di Indonesia, perpajakan merupakan sumber terbesar pendapatan negara dengan porsi sekitar 80 persen dari total pemasukan negara.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan perpajakan terdiri atas dua bagian, yakni penerimaan pajak serta penerimaan bea dan cukai.

Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp1.418,5 triliun atau naik 2,9 persen dibanding periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy) per Agustus 2023. Dengan realisasi tersebut, penerimaan perpajakan telah mencapai 70,2 persen dari target APBN 2023 senilai Rp2.021,2 triliun.

Capaian penerimaan perpajakan terdiri atas penerimaan pajak sebesar Rp1.247 triliun atau meningkat 6,4 persen (yoy) serta penerimaan kepabeanan dan cukai Rp171,6 triliun atau menurun 16,8 persen (yoy).

Kendati capaian penerimaan perpajakan saat ini sangat besar, namun penerimaan perpajakan harus berkontribusi lebih besar lagi terhadap perekonomian nasional. Untuk mengukur kontribusi tersebut, pemerintah biasa menggunakan rasio perpajakan (tax ratio) sebagai perbandingan antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB).

Pada 2018, rasio perpajakan Indonesia sudah berada pada level dua digit, yakni 10,2 persen. Namun akibat COVID-19, rasio perpajakan menurun ke level 9,8 persen pada 2019, merosot ke 8,3 persen pada 2020, dan membaik menjadi 9,1 persen pada 2021.

Seiring perbaikan ekonomi, rasio perpajakan kembali ke level dua digit mencapai 10,4 persen pada 2022. Selanjutnya pada 2023, rasio perpajakan ditargetkan berada di atas 10 persen dan 10,2 persen pada 2024.

Menurut Dana Moneter Internasional (International Moneter Fund/IMF), rasio pajak yang ideal bagi suatu negara sebenarnya berada di level 15 persen. Untuk itu pemerintah kian berusaha meningkatkan rasio perpajakan Indonesia agar bisa mencapai level ideal tersebut.

Dari segi penerimaan perpajakan, penerimaan pajak yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak semakin membaik belakangan ini. Terlihat dari terus tercapainya target pajak dalam dua tahun belakangan, setelah 12 tahun mengalami kekurangan (shortfall) pajak.

Bahkan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani optimistis terdapat kemungkinan target pajak pada tahun ini akan kembali tercapai sebesar Rp1.718 triliun, sehingga berpeluang mencapai "hattrick".

Bagi Kementerian Keuangan, reformasi perpajakan perlu untuk terus dilaksanakan pemerintah guna mengerek penerimaan perpajakan.

Pada 2021, penerimaan pajak berhasil melewati target, yakni sebesar Rp1.278,6 triliun. Di 2022, penerimaan pajak kembali meningkat dan melewati target, yaitu hingga Rp1.716,8 triliun.

Sementara untuk tren penerimaan bea cukai cenderung membaik dari tahun ke tahunnya dan terus mencapai, bahkan melewati target. Pada 2021, realisasi penerimaan bea dan cukai melewati target, yakni sebesar Rp269 triliun dan Rp317,8 triliun di 2022.

Namun untuk 2023, terdapat kekhawatiran realisasi penerimaan bea dan cukai tak mencapai target yang sebesar Rp303 triliun karena penurunan penerimaan, terutama dari bea keluar dan cukai.


Harmonisasi peraturan

Pencapaian penerimaan perpajakan, baik pajak maupun bea dan cukai tak terlepas dari reformasi yang telah dilakukan pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Beberapa poin penting dalam UU HPP, yakni integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tambahan lapisan penghasilan yang dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh), perubahan tarif PPh badan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), penambahan objek PPN, program pengungkapan sukarela, hingga penerapan pajak karbon.

Oleh karena itu, UU HPP mendekatkan kinerja perpajakan ke level potensialnya, dengan perbaikan administrasi maupun kebijakan. Dari sisi administrasi, UU HPP menutup berbagai celah aturan yang masih ada dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis terkini.

Sementara dari sisi kebijakan perpajakan, UU HPP memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor UMKM yang merupakan pelaku utama ekonomi nasional.

Berdasarkan perhitungan IMF, reformasi dari sisi administrasi akan memberikan tambahan rasio perpajakan sebesar 1,5 persen, sedangkan reformasi dari sisi kebijakan akan meningkatkan rasio perpajakan sebesar 3,5 persen.

Meski demikian, hasil dari implementasi reformasi tersebut tentunya tidak bisa terlihat langsung dalam jangka pendek dan kemungkinan akan terlihat dalam jangka panjang.

Bank Dunia mengatakan bahwa masih terdapat ruang untuk meningkatkan rasio perpajakan Indonesia dengan tiga cara mengungkit penerimaan. Pertama, menghilangkan pengecualian dan tarif pilihan atas PPN untuk berbagai barang dan jasa.

Meski barang-barang yang dikecualikan tersebut seringkali merupakan pangsa lebih besar dari konsumsi rumah tangga miskin, barang-barang itu turut dikonsumsi oleh rumah tangga yang lebih kaya dan biasanya dalam jumlah yang lebih banyak.

Sepertiga dari potensi penerimaan PPN, yakni 0,7 persen dari PDB di Indonesia, hilang melalui struktur pembebasan PPN saat ini. Besaran tersebut cukup untuk mendanai seluruh anggaran bantuan sosial yang diperluas pada 2019.

Selanjutnya, langkah kedua yang bisa dilakukan Indonesia adalah menaikkan pajak atas alkohol, tembakau, gula, dan karbon. Tembakau, alkohol, dan minuman berpemanis memiliki dampak kesehatan yang negatif, dengan implikasi biaya yang besar bagi kesehatan masyarakat.

Meningkatkan pajak atas barang-barang tersebut akan mengurangi konsumsinya, serta menghemat biaya untuk sistem kesehatan publik, sekaligus menghasilkan penerimaan pemerintah.

Ketiga, penerapan segera pajak karbon yang dapat meningkatkan penerimaan sekaligus membuat investasi di sektor karbon tinggi menjadi kurang menarik. Hal tersebut akan membantu meningkatkan daya saing Indonesia, misalnya, terkait dengan ekspor ke negara-negara yang mengenakan tarif impor untuk produk-produk berkandungan karbon tinggi, seperti mekanisme penyesuaian batas karbon Uni Eropa.

Kendati reformasi tersebut dapat merugikan rumah tangga miskin dan berpotensi mengurangi pendapatan mereka, tetapi program bantuan sosial dapat memberi kompensasi kepada rumah tangga tersebut.

Program bantuan sosial hanya akan menelan biaya sebagian kecil dari penerimaan yang diperoleh dari pajak karbon, namun memiliki dampak yang jauh lebih besar dalam mengurangi ketimpangan.


Keberlanjutan

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengungkapkan reformasi perpajakan yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini perlu dijaga keberlanjutannya.

Pasalnya berdasarkan studi tentang keberhasilan reformasi perpajakan di 32 negara, rasio perpajakan baru bertambah signifikan usai 10,7 tahun, yakni sebesar 5,5 persen. Angka tersebut setara dengan sekitar 0,51 persen per tahun.

Setidaknya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan reformasi perpajakan suatu negara, yaitu elemen politik ekonomi dan perpajakan, desain kebijakan pajak, dukungan administrasi pajak, serta orientasi kepada kepatuhan.

Reformasi perpajakan memang tidak bisa dilakukan secara terburu-buru dan tidak untuk tujuan jangka pendek.

Apalagi, Indonesia menargetkan rasio perpajakan mencapai 18 persen sampai 20 persen pada tahun 2045, jika mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Maka dari itu, tahun 2024 akan menjadi pijakan penting untuk memasuki fase RPJPN tersebut.

Untuk tahun depan, Kemenkeu mengarahkan kebijakan perpajakan guna memperkuat transformasi ekonomi, sehingga dapat bertahan di tengah berbagai tantangan. Dengan begitu, Kemenkeu menyiapkan lima strategi untuk memperkuat penerimaan perpajakan.

Strategi pertama, yakni mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan. Dalam strategi ini, sistem pajak inti (core tax system) atau yang juga dikenal dengan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) siap diimplementasikan pada awal tahun.

Strategi kedua, yaitu dengan memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Ketiga, memperkuat sinergi melalui program bersama, pemanfaatan data, dan penegakan hukum bersama kementerian/lembaga serta aparat pemerintahan lainnya.

Keempat, menjaga efektivitas implementasi UU HPP untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan. 

Strategi kelima, yakni insentif perpajakan yang makin terarah dan terukur agar dapat mendukung iklim dan daya saing usaha serta transformasi ekonomi yang bernilai tambah tinggi.

Dalam APBN 2024, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp2.308,9 triliun yang meliputi penerimaan pajak sebesar Rp1.988,9 triliun serta penerimaan bea dan cukai senilai Rp321 triliun.

Dengan menjaga keberlanjutan reformasi perpajakan, target tersebut tentunya dapat diraih dengan mudah dan pada akhirnya akan semakin mengerek rasio perpajakan Indonesia.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023