Jakarta (ANTARA) - Tertarik untuk mengembangkan potensi ekonomi biru yang melimpah, para pemimpin negara di kawasan Asia Tenggara setuju untuk mengadopsi ASEAN Blue Economy Framework pada KTT ASEAN di Jakarta September 2023.

Bagi Indonesia, yang bertindak sebagai pemangku keketuaan ASEAN tahun ini, pengembangan ekonomi biru layak dilirik karena tiga per empat wilayahnya terdiri dari perairan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menargetkan sektor ekonomi biru dapat berkontribusi hingga 15 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2045, atau meningkat sekitar tiga kali lipat dari angka saat ini yang hanya mencapai 5,3 persen.

Oleh karena itu, kini pemerintah berupaya mengembangkan tujuh aspek ekonomi biru, yakni perikanan tangkap dan budidaya, industri berbasis maritim, pembuatan kapal, ekowisata, pelayanan transportasi laut, bioteknologi dan bioekonomi, serta riset dan pengembangan sumber daya laut.

Akan tetapi, pengembangan berbagai potensi ekonomi biru tersebut seringkali hanya terfokus pada pengelolaan sumber daya laut, walaupun sebenarnya sumber daya wilayah pesisir juga perlu dioptimalkan, misalnya pantai dan hutan mangrove.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN, Vivi Yulaswati, mengatakan bahwa pengembangan ekosistem mangrove kini menjadi perbincangan hangat karena ekosistem ini dapat menyerap sekitar 21,9 miliar ton emisi CO2 di Indonesia.

Berbagai negara di wilayah subtropik yang tidak bisa menanam mangrove melakukan carbon trading melalui penanaman mangrove di Indonesia.

Upaya yang penting dilakukan saat ini adalah mengonservasi ekosistem tersebut, bukan melakukan penanaman pohon baru atau merehabilitasi hutan bakau yang rusak. Sebab yang bertindak sebagai carbon sink atau penyerap emisi karbon adalah tanah lempung yang mengendap di ekosistem tersebut, bukan pohon mangrove itu sendiri.

Selain itu, kawasan mangrove juga berpotensi sebagai destinasi wisata, seperti hutan bakau di UNESCO Global Geopark Belitong, Kepulauan Bangka Belitung, yang sudah berusia sekitar 700 tahun serta ekosistem mangrove di UNESCO Global Geopark Raja Ampat, Papua Barat.

Terkait dengan kawasan mangrove, pengamat lingkungan dari United Nations Development Programs (UNDP) Indonesia, Muhammad Yayat Afianto, menambahkan bahwa selain sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan objek wisata, hutan bakau berpotensi besar pada perikanan, ekonomi kreatif, dan bioteknologi.

Belum lagi jasa lingkungan dari sisi ketersediaan udara yang bersih, sumber daya air, dan sumber pangan yang merupakan kebutuhan dasar kehidupan.

Oleh karena itu,  upaya pemerintah dalam mengimplementasikan Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023-2045 yang telah dirilis Juli lalu, yang di dalamnya terdapat upaya-upaya pengembangan potensi perikanan pesisir dan ekosistem mangrove, dapat menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan.

Peta jalan ini juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas lingkungan hidup bagi lebih dari 75 juta penduduk Indonesia serta membuka 45 juta kesempatan kerja baru.

 

Pilar ketahanan

 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,3 juta hektare pada 2021, yang mencakup 22,6 persen mangrove dunia, sehingga menjadikan negara ini sebagai pemilik ekosistem bakau terluas di dunia.

Tingkat keanekaragaman jenis bakau dan tanaman asosiasinya di Indonesia pun cukup tinggi, yakni mencapai 49 jenis spesies mangrove dan 155 spesies tumbuhan asosiasinya.

Ekosistem ini menjadi habitat, tempat pemijahan (spawning ground), dan perkembangan (nursery and feeding ground) berbagai jenis ikan, krustasea, dan moluska, serta tempat bersarang, mencari makan, dan berkembang biaknya banyak jenis burung dan reptilia.

Oleh karena itu, pengembangan ekonomi biru di kawasan mangrove perlu mengutamakan kelestarian ekosistem, penggunaan pembiayaan berkelanjutan, serta melibatkan partisipasi aktif penduduk sekitar agar program yang direncanakan dapat terlaksana dengan baik.

Kelestarian ekosistem menjadi salah satu hal yang penting diperhatikan karena jika kawasan mangrove rusak, maka ketahanan dan keberlangsungan hidup ekosistem serta biota di sekitarnya juga ikut terganggu.

Hal itu tentunya akan menghambat pengembangan potensi sumber daya laut untuk meningkatkan ekonomi biru Indonesia, terutama dalam sektor perikanan tangkap dan budi daya, industri berbasis kelautan, bioteknologi, bioprospecting, dan bioekonomi.

Rusaknya hutan bakau yang menjadi habitat berbagai makhluk hidup jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan hilangnya keragaman hayati (biodiversity loss).

Padahal, berbagai biota laut adalah sumber daya penting dalam perikanan tangkap dan budi daya, yang berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) angkanya mencapai 7,99 juta ton untuk perikanan tangkap dan 16,87 juta ton untuk perikanan budi daya.

Sementara hewan-hewan dalam golongan krustasea adalah sumber utama kitosan, yakni suatu zat yang kini banyak dicari sebagai bahan superfood, obat, dan kosmetik.

Kulit krustasea, terutama udang, juga dapat dikembangkan untuk pembuatan bahan pelapis pesawat tempur antiradar.

Kerusakan area mangrove yang dapat mempengaruhi ekosistem di sekitarnya, seperti terumbu karang (coral reef) dan padang lamun (seagrass meadow), tentunya dapat menghambat pengembangan potensi ekonomi biru Indonesia.

Padang lamun, di samping pula rumput laut (seaweed), berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber biofuel. Padang lamun adalah ekosistem khas laut dangkal yang ditumbuhi oleh tumbuhan rerumputan yang telah beradaptasi terhadap air asin. Rerumputan tersebut adalah anggota dari tumbuhan monokotil, berbunga, berdaun, berbunga, dan memiliki akar rimpang, sehingga tumbuhan tersebut mampu bertahan dari hempasan ombak dan arus.

Korea dan Jepang yang sekarang cenderung mengembangkan sektor energinya ke arah biofuel, melirik seaweed dan juga seagrass Indonesia.


Game changer

Kondisi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan akibat pemanasan global mendorong para pemimpin dunia untuk mengadopsi 17 poin Sustainable Development Goals (SDGs)  guna mewujudkan kesejahteraan planet Bumi dan seluruh manusia yang hidup di atasnya dengan target pencapaian pada 2030.

Langkah yang ditempuh untuk merealisasikan target-target SDGs tersebut masih perlu dimaksimalkan. Kini, Bumi dan semua penghuninya justru menghadapi tantangan keberlanjutan lingkungan yang semakin sulit, yaitu triple planetary crisis yang terdiri dari perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Di sektor kemaritiman, pemanasan global menyebabkan perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut sehingga menenggelamkan banyak wilayah pesisir, seperti beberapa desa di utara Pulau Jawa.

Polusi, terutama yang diakibatkan oleh limbah industri maupun sampah plastik yang berubah menjadi mikroplastik, juga banyak terjadi di lautan dan menyebabkan banyak biota air mati akibat tidak sengaja memakan zat-zat berbahaya tersebut.

Kedua hal tersebut menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, yang diperparah pula oleh ulah manusia akibat kurangnya informasi dan edukasi.

Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, pernah menyebut hilangnya ekosistem mangrove di Gili Trawangan, salah satu destinasi wisata di Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagai salah satu akibat kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya tanaman tersebut.

Penduduk setempat menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui tanaman tersebut adalah pohon mangrove karena mereka terbiasa menyebutnya dalam bahasa lokal dan berpikir itu adalah pohon kayu biasa, sehingga sering ditebang untuk membuat pondok.

Padahal, selain sebagai pilar ketahanan ekosistem yang dapat digali potensinya untuk meningkatkan nilai ekonomi biru nasional, mangrove juga berguna untuk mencegah abrasi dan banjir di wilayah pesisir.

Oleh karena itu, saat ini Bappenas sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 untuk dapat mempercepat capaian SDGs tersebut, terutama tujuan momor 14 yakni  Ekosistem Lautan.

Implementasi tujuan ini bermaksud untuk melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan.

Ekonomi biru memang menjadi salah satu game changer dalam RPJMN lima tahun ke depan, karena dengan bisa mengatasi berbagai tantangan tersebut dan terus mengembangkan ekonomi biru, harapannya tujuan SDGs Nomor 14 ini bisa tercapai.

Game changer merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang mengubah permainan atau situasi dalam cara yang signifikan. Istilah ini sering digunakan dalam berbagai konteks, termasuk teknologi , pendidikan, bisnis, kesehatan, olahraga, politik dan sektor-sektor publik lainnya.

Tentu saja, agar ekonomi biru ini dapat efektif menjadi game changer dalam mencapai tujuan SDGs dan menjaga keberlanjutan lingkungan, maka kerja sama dari berbagai pihak diperlukan untuk menjalankan program-program yang telah dicanangkan, termasuk pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor swasta, dan media.

Peningkatan edukasi di semua kalangan bahwa selain lautan, wilayah pesisir pantai dan hutan mangrove juga merupakan bagian penting dalam pengembangan ekonomi biru. Dengan demikian,  tidak akan ada lagi yang merusak ekosistem bakau. 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023