Kini, Prancis meniti satu anak tangga lagi: juara atau jatuh!
Jakarta (ANTARA News) - Jean-Marie Le Pen, politisi ultra-kanan Prancis, harus berterima kasih kepada Zinedine Zidane, Lilian Thuram, Thierry Hendry, dan Claude Makelele. Berkat pemain keturunan imigran dan kulit hitam --yang selalu dicerca Le Pen, politisi dengan kecenderungan rasis-- itulah Prancis lolos ke final Piala Dunia 2006, dan bahkan mungkin menjadi juara untuk kedua kalinya, setelah 1998. Pelatih Prancis, Raymond Domenech, meminta pemain berkonsentrasi terhadap pertandingan dan melupakan teror rasis Le Pen. Pemain memang tak peduli pada Le Pen, dan mereka konsentrasi untuk memenangkan pertandingan. Hasilnya, Brazil yang dianggap sebagai super team, kalah. Portugal dengan pemain-pemain bertenaga, juga tunduk. Kini, Prancis meniti satu anak tangga lagi: juara atau jatuh! Ketika menghadapi Brasil, Prancis tampil di luar perkiraan banyak pengamat. Zinedine Zidane, pemain veteran berusia 34 tahun, tidak saja pengumpan yang akurat, tapi juga manajer lapangan yang hebat, berinisiatif, dan kuat. Di tengah seniman-seniman bola Brasil, Zidane menjadi maestro. Pemain-pemain Brasil, Ronaldinho, Ronaldo, Cafu, dan Ze Roberto terpaksa mengikuti alur permainan yang tak mereka sukai. Meski tak secemerlang ketika melawan Brasil, Zidane tetaplah penyeimbang yang hebat saat Prancis bertemu Portugal di semi final. Dalam gempuran pemain-pemain muda Portugal, Zidane memperihatkan kualitasnya sebagai pengatur lapangan. Ketenangan dan kewibawaannya membuat Prancis tidak panik. Bersama Lilian Thuram, Zidane ikut mengorganisasi pertahanan dan memperkecil ruang bagi pemain Portugal melepas umpan silang ke mulut gawang. Tapi, Italia bukanlah Brasil dan Portugal. Kemenangan Italia atas tuan rumah Jerman di semi final memperlihatkan ketangguhan organisasi serangan Tim Azzurri itu. Pertahanan Italia yang kuat, mobiltas lapangan tengah dalam mengatur ritme serangan, membuat Jerman kehilangan arah permainannya. Menghadapi Prancis di final, Senin dini hari WIB, Italia diperkirakan tetap pada formasi 4-4-1-1. Francisco Toti dan Luca Toni di depan. Namun, Prancis harapan sesungguhnya ada di lapangan tengah Andrea Pirlo, Gennaro Gatusso, Simone Perotta, dan Mauro Camoranesi. Di belakang, Cannavaoro dan Materezi kuat menahan serangan dari tengah. Kecepatan Pablo Grosso dan Zambrotta naik ke lini pertahanan lawan dan segera menutup pertahanan sendiri, ketika diserang, telah membuat Jerman sulit mengontrol permainan. Ketika perempat final dan semi final, pelatih Italia, Marcello Lippi, sesungguhnya mendorong Italia bermain menyerang dengan tumpuan Pilro dan Gatusso di tengah. Lippi bukanlah penganut cattenaccio (pertahanan ala grendel) yang kuno itu. Kelebihan lini pertahanan Italia ada pada ketenangan Cannavaro, Materazzi, dan Pirlo yang cepat bergerak ke bawah. Sebagai playmaker mampu membawa Italia menjadi tim yang tangguh. Namun, kematangan dan ketengan Zidane berada di atas Pilro. Prancis yang kemungkinan tetap dengan formasi 4-2-3-1 diuntungkan oleh Zidane dan Lilian Thuram. Dua pemain veteran ini maestro di lapangan tengah dan belakang. Gempuran dahsyat Portugal setelah kebobolan penalti Zidane, tak membuahkan hasil sampai pertandingan berakhir. Itu berkat pengorgisasian Thuram di belakang dan Zidane di tengah. Setiap kali Luis Figo maupun Cristiano Ronaldo mengusai bola di daerah pertahanan, pemain belakang Prancis secara cepat menutup ruang tembak, sehingga sulit memberikan umpan silang. Terobosan di dari tengah pun tidak mudah. Gelandang Patrick Vieira dan Makelele cepat menutup ruang itu. Dengan kekuatan kedua tim di belakang, pertandingan final Prancis-Italia itu akan ditentukan perebutan lini tengah. Di sinilah keuntungan Prancis: kualitas, ketenangan, dan kematangan dalam mengorganisasi serangan. Apabila ruang terbuka bagi Zidane, maka dengan ketenangan dan kematangannya, terutama kematangan emosi yang membuat pemain lain tidak panik ketika digempur, Italia menghadapi persoalan. Di lini itu juga ada Franck Ribery yang cepat, Florent Malouda dan Makelele yang bertenaga. Pertandingan final tidak semata keterampilan individu, tapi juga kejelian strategi pelatih, pengorganisasian, dan lebih dari itu kematangan satu tim. Prancis memiliki nilai lebih di situ. Dan, pada akhir pertandingan para pemain Prancis akan berpesta menikmati pizza yang lezat. Le Pen tentu harus menarik hujatannya atas pemain yang sebagian besar keturunan imigran dan kulit hitam. Namun, apabila Italia lebih dahulu mencetak gol, maka mereka akan berpesta dengan pizzanya sendiri dan segelas anggur Prancis. (*)

Oleh (Oleh Asro Kamal Rokan)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006