Jakarta (ANTARA) - Minggu pagi, 1 Oktober 2023, sebuah kendaraan berhenti di luar gerbang Kementerian Dalam Negeri Turki di Ankara.

Seorang pria keluar dari mobil itu, kemudian bergegas menuju gedung kementerian tersebut. Tak lama kemudian, terdengar ledakan yang kemudian diketahui sebagai bom.

Menurut Reuters, bom itu menewaskan si pria dan seorang penjaga keamanan, selain mengguncang kompleks kementerian dan parlemen Turki, tepat sebelum parlemen bersidang.

Tak sampai satu hari dari kejadian itu, kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) menyatakan bertanggung jawab atas serangan bom itu.

Turki lalu mengerahkan pesawat tempur mereka untuk membom sarang-sarang militan PKK di Irak utara. PKK memang berbasis di Irak utara dan daerah-daerah Turki yang berbatasan dengan Irak utara.

Di dalam negeri sendiri, aparatur keamanan Turki menangkap sejumlah orang yang berkomplot dalam serangan itu.

PKK adalah organisasi yang sudah dinyatakan terlarang oleh Turki dan digolongkan teroris tak hanya oleh Turki, tapi juga oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.

PKK adalah satu dari sejumlah kelompok Kurdi yang aktif melancarkan teror guna mewujudkan tanah Kurdi atau Kurdistan merdeka.

Kurdi adalah salah satu suku asli di Timur Tengah dan menjadi kelompok etnik terbesar keempat di kawasan itu. Mereka berbicara dalam bahasa Kurdi dan mayoritas Muslim Sunni.

Sejak Turki modern didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk, negara itu tak henti menghadapi militansi Kurdi, yang juga membuat pusing pemerintah Suriah, Irak dan Iran.

Keempat negara itu berdekatan satu sama lain, dan memiliki minoritas Kurdi yang signifikan, yang pada dasarnya berada di bentangan sama, tapi bentangan itu terkerat-kerat masuk wilayah keempat negara tersebut.

Kurdi awalnya hanya salah satu etnis dalam Kesultanan Utsmani atau "Ottoman Empire". Namun, pada awal abad ke-20, ketika sentimen "negara bangsa" mengharu biru Timur Tengah, Kurdi juga mengalami gejolak nasionalisme, tak lama setelah Turki Utsmani ambruk dan Perang Dunia Pertama berakhir.

Dalam Perang Dunia I pada 1914-1918, Turki Ustmani berpihak kepada aliansi Jerman dan Austria-Hungaria, guna melawan Sekutu pimpinan Inggris, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat.

Perang itu dimenangkan Sekutu untuk menghasilkan sejumlah perjanjian penting, seperti Perjanjian Versailles, Lausanne, dan Sevres.


Perjanjian Sevres

Perjanjian Sevres ditandatangani oleh Sekutu dan Turki Utsmani pada 1920. Berdasarkan perjanjian itu, sejumlah wilayah Turki harus diserahkan kepada Sekutu, termasuk Irak kepada Inggris dan Suriah untuk Prancis.

Perjanjian itu juga mencanangkan sebuah negara merdeka untuk Kurdi, tapi tak terwujud karena Kesultanan Turki dijatuhkan kaum nasionalis pimpinan Kemal Ataturk, yang memulihkan lagi kekuasaan Turki di bagian timur yang didiami suku Kurdi. Saat bersamaan, Inggris memasukkan Provinsi Mosul (di bagian utara Irak), ke dalam mandat mereka di Irak.

Sebaliknya, lewat Perjanjian Lausanne pada 1923, Prancis mengembalikan wilayah Kurdi semasa Turki Utsmani yang menjadi mandatnya, kepada Republik Turki pimpinan Ataturk.

Alhasil, nasionalisme Kurdi redup, gagal mewujud menjadi negara. Wilayah-wilayah Kurdi pun terbagi-bagi menjadi teritori Turki, Irak, dan Suriah.

Akan halnya suku Kurdi di Iran, dinamikanya tak terekam selengkap saudara-saudaranya di Turki, Suriah, dan Irak. Namun, mereka juga menjadi persoalan pelik di Iran.

Kini, sekitar 30 juta warga Kurdi tinggal di daerah-daerah pegunungan di Turki, Suriah, Irak, dan Iran. Menurut Council on Foreign Relations, 14,7 juta warga Kurdi hidup di Turki, 8,1 juta orang lainnya di Iran, 5,5 juta orang berada di Irak, dan 1,7 juta orang mendiami Suriah.

Sekalipun mendambakan sebuah tanah Kurdi atau Kurdistan yang bersatu dan merdeka, suku ini justru sulit bersatu, terutama karena dalamnya sentimen kesukuan dan perbenturan kepentingan politik di antara mereka sendiri.

Mengutip analisis Council on Foreign Relations pada 2019, mereka ada yang bermigrasi ke kawasan-kawasan perkotaan, seperti Istanbul, Damaskus, dan Teheran, guna berintegrasi dan berasimilasi, tapi ada juga yang memilih tetap di tanah leluhur, sambil menjaga kuat-kuat identitas aslinya.

Di luar empat negara itu, terdapat sekitar dua juta diaspora Kurdi yang sebagian besar menetap di Eropa.

Mereka tak henti memperjuangkan pengakuan, hak berpolitik, bahkan otonomi dan kemerdekaan.

Mereka juga kerap menjadi korban persekusi, sampai ribuan dari mereka terbunuh, baik akibat menentang rezim, maupun akibat pertarungan di antara sesama Kurdi.

Itu karena mereka memang acap menempuh jalan perjuangan yang berbeda-beda.

Ada yang menggunakan jalan kekerasan, tapi ada juga yang mengadopsi jalur politik guna memperjuangkan hak, otonomi, dan kebebasan warga Kurdi.

Perbedaan itu membuat warna gerakan perjuangan Kurdi menjadi berbeda-beda.

Mereka mewadahi dirinya dengan beragam partai dan kelompok politik yang juga mencerminkan perpecahan di kalangan Kurdi, yang sering berkaitan dengan perbedaan suku, bahasa, dan persaingan politik di antara mereka.


Sulit bersatu

Dalam titik tertentu, persaingan itu bisa berakhir dengan saling bunuh, seperti saat Partai Demokratik Kurdistan (KDP) dan Uni Patriotik Kurdistan (PUK) yang menjadi dua parpol Kurdi dominan di Irak, terlibat dalam perang saudara yang menewaskan sekitar dua ribu warga Kurdi pada pertengahan 1990-an.

Sering pula terjadi, manakala sebuah kelompok Kurdi berbaikan dengan rezim, entah itu di Irak, Suriah, atau Turki, kelompok Kurdi yang lain berusaha menentang dialog semacam itu.

Mereka sulit bersatu dan bisa sangat sektoral, di mana Kurdi Turki fokus bergerak di Turki, sebaliknya Kurdi Suriah atau Irak fokus berjuang di daerah-daerahnya.

Perpecahan dalam kalangan Kurdi itu dianggap sebagai salah satu penyebab utama ketidakmampuan suku ini dalam membentuk negara sendiri.

Di sisi lain, keinginan mereka dalam mendapatkan otonomi yang luas atau bahkan kemerdekaan, kerap tidak didukung dunia internasional, termasuk pihak-pihak yang aktif membela hak asasi manusia, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Hal itu terlihat ketika warga Kurdi di Irak utara menggelar referendum kemerdekaan pada 2017. Referendum itu gagal mewujud menjadi negara, karena tidak saja ditentang pemerintah Irak, tapi juga AS dan Uni Eropa.

Bahkan ada masa ketika koalisi internasional terpaksa meminggirkan Kurdi, walaupun mereka menjadi kekuatan paling efektif, seperti saat mereka menjadi kekuatan inti yang melibas ISIS di Suriah dan Irak, beberapa tahun lalu.

Saat itu, Turki berkeberatan pada langkah AS yang dianggap terlalu memberi angin kepada Kurdi Suriah, walau kelompok ini menjadi kekuatan militer paling efektif dalam melumpuhkan ISIS dan dalam mengimbangi rezim Bashar Al Assad.

Turki tidak mau Kurdi Suriah mendapatkan otonomi karena bisa mendorong Kurdi Turki menuntut hal serupa, atau paling tidak Kurdi Suriah mentransfer cerita suksesnya kepada Kurdi Turki.

Tidak hanya Suriah, Irak, dan Turki yang was-was mencermati gerakan Kurdi. Iran pun demikian.

Krisis politik Iran akhir 2022 yang dipicu kematian perempuan bernama Mahsa Amini di dalam penjara wanita, tidak sepenuhnya tentang persoalan wajib hijab dan hak perempuan, tetapi juga memiliki dimensi Kurdi.

Mahsa Amini adalah warga Kurdi kelahiran Provinsi Kurdistan di Iran utara. Warga Kurdi Iran yang selama ini merasa terpinggirkan di negerinya, memang menjadi pihak pertama yang tersulut hebat oleh kematian tak wajar Mahsa Amini.

Namun, sejauh ini Turki, Suriah, Iran, dan Irak, tampaknya masih dapat mengelola pergolakan-pergolakan berkaitan dengan Kurdi. Sebaliknya, cara teror seperti dilakukan PKK di Turki semestinya tak lagi menjadi pilihan Kurdi.

 

Copyright © ANTARA 2023