Jakarta (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya meminta pemerintah memisahkan pembahasan produk tembakau dari rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Dengan demikian, menurut Ketua Gapero Surabaya Sulami Bahar, dapat melibatkan pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT) nasional sebagai mitra pemerintah dalam memberikan masukan dalam pembahasan yang transparan dan akuntabel.

"Selain itu, dapat mempertimbangkan kearifan lokal, besaran ekonomi, dan penerimaan negara, serta serapan tenaga kerja dari IHT nasional beserta industri terkait lainnya," katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang membahas RPP sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan. Di dalam klausul aturan tersebut, pemerintah akan mengatur produk tembakau sebagaimana mandat Pasal 152 UU Kesehatan.

Sulami menegaskan apabila pemerintah dalam hal ini Kemenkes memaksakan dan tetap mengimplementasikan RPP Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau, maka bisa dipastikan akan ada banyak IHT nasional yang bakal mengalami gulung tikar.

Dikatakannya, saat ini jumlah IHT di Jawa Timur mencapai 538 industri dengan jumlah buruh sebanyak 186 ribu atau 60 persen terhadap nasional yang mencapai 360 ribu tenaga kerja.

Adapun jumlah produksi rokok saat ini secara nasional sebesar 364 miliar batang per tahun.

"Dengan perjalanan waktu jumlah tersebut turun terus, pasti akan terjadi gulung tikar," katanya.

Sulami mencontohkan beberapa aturan UU Kesehatan yang tumpang tindih dengan kementerian lain, misalnya kewajiban standardisasi produk oleh IHT di satu lembaga yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), padahal di Indonesia ada 9 lembaga/laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan PP 109/2012.

Menurut dia, kalau hanya satu lembaga itu akan mempersulit apalagi hanya BPOM yang seharusnya mengurusi obat dan makanan, sedangkan produk IHT seharusnya diatur oleh kementerian perindustrian.

Bahkan dalam RPP itu, lanjutnya, ada menyinggung soal peningkatan tarif cukai yang seharusnya diatur oleh Kemenkeu, termasuk soal aturan CSR, dimana IHT dilarang untuk mempublikasikan kegiatan CSR, sementara IHT punya kewajiban CSR, larangan menjual rokok ketengan, minimal kemasan 20 batang/bungkus.

"Klausul pengaturan tersebut sangat menakutkan bagi ekosistem pertembakauan terutama pasal tentang zat adiktif berupa tembakau. Hal ini seolah membuat tembakau sebagai barang terlarang," katanya.

Di lain sisi, kata Sulami, keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah sangat tepat dalam hal pengendalian, tetapi malah membuat RPP yang sangat merugikan industri dan pekerja IHT.

"Bahkan RPP yang saat ini sedang digodok Kemenkes banyak pasal yang tumpang tindih dengan regulasi kementerian bidang lain, seperti dengan Kemenkeu, Kemendag dan Kemenperin," ujarnya.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan dalam RPP terkait pengaturan produk tembakau, sinergi antarkementerian dan lembaga adalah hal yang utama.

Menurut dia, dalam pembahasan aturan pengendalian, ada 2 instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk menghasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait.

"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih," katanya.

Nirwala juga mengatakan sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 Tahun 2012.

Baca juga: Pakar hukum: RPP pengaturan zat adiktif pertimbangkan seluruh aspek
Baca juga: Asosiasi dukung pemerintah optimalkan sosialisasi tembakau alternatif
Baca juga: Indeks TII tinggi, pemerintah diminta proaktif atur industri tembakau

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2023