Jakarta (ANTARA) - Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan diperlukan sinergi antarkementerian dan lembaga.

Hal itu dikatakannya menanggapi pro kontra Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan terkait Pengaturan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau yang dinilai merugikan kelangsungan ekosistem pertembakauan di tanah air.

Menurut dia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat dalam pembahasan aturan pengendalian, ada dua instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk menghasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait.

"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU Cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Nirwala

Dia mengatakan, sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Sebelumnya Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Cahyani Suryandari menyatakan rokok bukanlah produk yang dilarang untuk diiklankan. Hal itu, didasarkan putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait produk rokok.

Salah satu kesimpulan dari putusan MK tersebut, lanjutnya, menyatakan bahwa tembakau adalah produk yang legal, yang dapat diatur tapi tidak dilarang. Selain itu, rokok bukan barang ilegal yang dilarang untuk diiklankan, tapi tetap dengan syarat-syarat tertentu.

Walaupun rokok boleh diiklankan, tambahnya, harus ada bentuk pengamanan tertentu, seperti iklan yang ditayangkan harus lebih dari jam 10 malam hingga tidak boleh ditampilkannya produk rokok itu sendiri.

"Artinya kalau diiklankan harus ada jaring-jaring pengamanannya," ujarnya.

Selain itu, tambahnya, dalam putusan MK tersebut tidak ada larangan rokok untuk dipublikasikan, karena merupakan produk yang legal dan terbukti dengan dikenakannya cukai.

Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meminta sejumlah pasal untuk dicabut, khususnya pasal-pasal pengaturan produk tembakau yang dapat berdampak negatif terhadap keberlangsungan tenaga kerja secara luas atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Posisi Kemnaker pada prinsipnya mengusulkan agar pasal-pasal yang menuai masalah untuk tidak dimuat dalam RPP Kesehatan," kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menegaskan, pihaknya siap mengawal penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan demi menjaga iklim usaha industri hasil tembakau (IHT).

"Kami terus kawal pembahasan RPP Kesehatan untuk jaga iklim usaha IHT tetap kondusif,” katanya.


Baca juga: Pemkab Situbondo latih IKM kelola industri hasil tembakau
Baca juga: DPI tolak larangan iklan produk tembakau di RPP Kesehatan
Baca juga: Tiga capres--cawapres komitmen lindungi petani tembakaudi RI

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023