Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Menteri Kesehatan (Menkes) RI Prof Laksono Trisnantoro mendorong penggunaan fitofarmaka (obat bahan alam yang teruji klinis) sebagai salah satu jenis obat yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Sejak 1992 Kemenkes telah mengeluarkan pedoman soal fitofarmaka, 30 tahun berselang ada 26 fitofarmaka, tetapi belum ada satu pun yang masuk BPJS Kesehatan," katanya dalam diskusi terkait fitofarmaka yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Laksono mengatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) telah menegaskan bahwa fitofarmaka bukan tergolong sebagai jamu dan obat tradisional.

Baca juga: Kemenkes luncurkan Formularium Fitofarmaka

Dengan status tersebut, kata dia, fitofarmaka memiliki peluang yang besar untuk digunakan secara masif dalam pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kesehatan yang didanai oleh BPJS Kesehatan.

"Dengan demikian, bisa menjadi bagian dari pengobatan modern, juga dapat bersaing dengan obat non-herbal dengan khasiat yang sama," ujarnya.

Laksono menyebutkan penggunaan fitofarmaka bisa menjadi salah satu alternatif yang lebih murah, seperti pada penyakit hipertensi dan diabetes.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan industri jamu nasional saat ini diprakirakan menyentuh angka Rp20 triliun. Dengan angka tersebut, penggunaan fitofarmaka juga berpeluang mencakup segmentasi pasar BPJS dan non-BPJS.

Baca juga: Wamenkes dorong industri farmasi kembangkan fitofarmaka

Meskipun demikian, hingga saat ini penggunaan fitofarmaka belum menjadi jenis obat yang umum untuk diresepkan oleh dokter, sehingga diperlukan pemantapan dari dokter, khususnya yang berada di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL) untuk dapat meresepkan obat fitofarmaka kepada pasien, sehingga penggunaan fitofarmaka dapat ditanggung oleh skema pembayaran BPJS Kesehatan.

"Kemantapan perlu dimulai sejak pendidikan di Fakultas Kedokteran, apakah ada materi terkait obat herbal?" katanya.

Menurut Laksono, hal tersebut menjadi tantangan agar fitofarmaka dapat diterima lebih luas, di mana UU Kesehatan menjadi pemicu yang memiliki andil besar dalam rangka memperluas cakupan fitofarmaka di Indonesia.

Baca juga: BPOM: Fitofarmaka bisa menjadi pengganti obat kimia

Laksono berharap penggunaan fitofarmaka yang diresepkan dapat mempercepat pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam rangka melakukan upaya promotif dan preventif kesehatan di masyarakat.

Pewarta: Sean Muhamad
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023