Jakarta (ANTARA) - Kepala Instalasi Farmasi RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. apt. Rina Mutiara, M.Pharm menyatakan terdapat sejumlah tantangan dalam mengembangkan penggunaan obat-obatan fitofarmaka di Tanah Air yang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi positif dalam upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. 

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra-klinik dan uji klinik, bahan baku, dan produk jadi terstandardisasi. Meski mulai diresepkan oleh para dokter karena sudah teruji baik pada hewan maupun manusia, namun fitofarmaka belum banyak diresepkan oleh dokter di rumah sakit, salah satunya karena regulasi yang belum setegas penggunaan obat-obat kimia.

"Regulasi terkait fitofarmaka mungkin belum sejelas atau setegas regulasi untuk obat-obatan kimia. Fitofarmaka belum masuk ke dalam Formularium Nasional dan Fromularium RS serta tidak dijamin oleh JKN padahal pasien-pasien rumah sakit umumnya menggunakan JKN. Sebenarnya dokter ingin meresepkan fitofarmaka untuk pasien JKN, namun karena tidak dijamin maka akhirnya beralih ke obat lain," kata Rina dalam diskusi bertajuk "Forum Hilirisasi Fitofarmaka - Optimalisasi Penggunaan Fitofarmaka dalam Pelayanan Kesehatan" yang diakses secara daring, Senin.

Baca juga: Staf Khusus: Dokter berperan penting dalam pengembangan fitofarmaka

Menurutnya, selain regulasi yang masih perlu diperjelas, hal lain yang menjadi tantangan pemanfaatan fitofarmaka adalah masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung kemujaraban dan keamanan.

"Dokter sering memerlukan bukti ilmiah yang kuat sebelum merekomendasikan atau meresepkan suatu produk kepada pasien. Baru beberapa fitofarmaka yang sudah terbukti uji klinisnya. Dokter sering mempertanyakan mengenai bukti ilmiah yang kuat ketika menyusun formularium rumah sakit. Ini yang belum bisa didukung oleh obat fitofarmaka," jelas dia.

Berbeda dengan obat-obatan kimia konvensional, fitofarmaka masih terbentur kendala keterbatasan informasi yang dapat menghambat dokter untuk membuat keputusan informasional dan ilmiah, seperti interaksi obat yang mungkin tidak diketahui. Selain itu faktor persepsi pasien juga turut memengaruhi penggunaan obat-obatan fitofarmaka.

"Dokter mungkin menghadapi tantangan dalam meresepkan fitofarmaka jika pasien memiliki persepsi negatif atau ragu terhadap efikasi dan keamanan produk," kata Rina.

Baca juga: Kemenkes dorong pengembangan obat herbal dan fitofarmaka di Indonesia

Lebih lanjut ia mengharapkan adanya regulasi pemerintah untuk mengatur obat fitofarmaka yang bertujuan melindungi masyarakat dari risiko penggunaan obat yang tidak aman dan memastikan bahwa memenuhi standard kualitas yang ditetapkan.

Rina kemudian menegaskan kembali bahwa penggunaan fitofarmaka di rumah sakit harus dilakukan dengan pendekatan hati-hati dan bersifat holistik, sehingga penting melakukan konsultasi dengan profesional kesehatan. Hal ini terutama jika seseorang mengonsumsi obat-obatan lain atau memiliki kondisi kesehatan tertentu.

"Meskipun fitofarmaka atau obat-obatan herbal dianggap berasal dari sumber alami, namun tetap dapat memiliki efek samping yang bervariasi, tergantung pada jenis, dosis, durasi penggunaan, dan respons individu," ujarnya.

Peluang dan tantangan penggunaan fitofarmaka, kata dia, memerlukan kolaborasi antara pemerintah, peneliti, dan masyarakat untuk menciptakan regulasi yang mendukung sekaligus meningkatkan kualitas produk dan keamanan.

"Dengan memahami potensi tumbuhan obat yang dimiliki oleh Indonesia dan menggabungkan kearifan lokal dengan penelitian ilmiah serta regulasi yang baik, maka penggunaan fitofarmaka memiliki potensi untuk memberikan kontribusi positif dalam upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat," kata Rina menutup penjelasan.

Baca juga: Kemenkes dorong penggunaan fitofarmaka ditanggung BPJS Kesehatan

Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023