Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro 57 HR Agung Laskono, mengatakan, organisasinya menolak secara tegas keinginan beberapa pihak untuk kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli melalui Dekrit Presiden. "Kosgoro menolak kembali ke UUD 1945 (alsi). Kalau memang ada kelemahan, bila perlu kita amandemen lagi," kata Ketua Umum PPK Kosgoro Agung Laksono pada pidato puncak bakti sosial Gerakan Persatuan Perempuan Kosgoro di Jakarta, Sabtu. Menurut Agung, Dekrit Presiden cukup terjadi satu kali di Republik Indonesia ini. Kalaupun saat ini dirasakan ada kelemahan dengan UUD 45 hasil empat kali amandemn, maka hal itu bisa dilakukan perbaikan melalui amandemen. Namun Agung mengingatkan agar amandemen tidak dilakukan dengan buru-buru. "Kita tak ingin terulang kembali, negara ini dipimpin orang yang otoriter karena memang aturannya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden," kata Agung. Pada kesempatan itu Agung juga menghargai jawaban Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan tidak akan mengeluarkan dekrit Presiden sebagaimana yang didesakakn sebagian orang. Agung menjelaskan bahwa masyarakat Indonesai saat ini telah berubah. Hasil amandemen empat kali tersebut telah memberikan kewenangan langsung kepad rakyat untuk memilih pemimpinnya. "Kita telah berikan hak langsung kepada orang untuk memilih masak kita kembalikan ke DPR lagi yang ada mediasi. Lebih baik kita konsisten melaksanakannya. Ke depan melaksanakan hasil amandemen yang ada," kata Agung. Sebelumnya mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto bersama sejumlah tokoh (Rabu, 5/7) mendeklarasikan Gerakan Revolusi Nurani. Gerakan ini menyerukan kembali ke ke UUD 1945 yang asli. Beberapa tokoh yang mendukung gerakan ini antara lain KH Nuril Arifin, Ki Utomo Darmadi, dan Sunardi. Gerakan Revolusi Nurani menilai UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 kebablasan yang mengakibatkan hancurnya tatanan negara. Situasi ini dinilai mengkhawatirkan yang dapat membawa NKRI ke arah kehancuran. "Caranya ada dua melalui MPR atau dekrit presiden, kalau dua-duanya tidak dilakukan maka rakyatlah yang bergerak," ungkap Tyasno. Dalam deklarasinya, gerakan ini menyatakan, amandemen UUD 1945 membuat Indonesia kehilangan ideologi, tidak memiliki Garis Garis Besar Haluan Negara yang menjadi arah pembangunan. Selain itu, struktur ketatanegaraan dan sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya telah beralih menuju liberalisme dan kapitalisme yang makin jauh dari cita-cita pendiri bangsa. Namun atas desakan tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan jika ada pihak-pihak yang menginginkan kembali pada penggunaan UUD 45 yang asli, hal itu tidak bisa dilakukan melalui dekrit presiden. "Kalau sekarang muncul pikiran baru, harus kembali ke UUD 1945, solusinya bukan dengan dekrit presiden," kata presiden dalam sambutannya pada pembekalan kursus singkat Lemhannas angkatan XIV di Istana Negara Jakarta, Kamis. Menurut Presiden, persoalan mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 45 bukan masalah berani atau tidak berani, karena harus mengacu pada mekanisme konstitusional yang berlaku. Dikatakannya, di dalam UUD yang berlaku saat ini, pada pasal 3 disebutkan MPR yang berwenang menetapkan UUD, bukan presiden. Mengenai pikiran untuk kembali ke UUD 45 yang asli, Presiden mengatakan sebaiknya itu diserahkan pada kehendak rakyat sesuai tantangan jaman pada saat ini dan melalui prosedur yang benar. Menurut presiden, jika memang UUD itu perlu dilakukan perubahan, sebaiknya dilakukan dengan "moratorium" untuk melihat kembali keberadaan UUD itu. UUD 45 telah dilakukan amandemen sebanyak empat kali, yaitu pertama tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002. Namun, menurutnya, pikiran untuk kembali ke UUD 45 yang murni itu tetap harus dihormati sebagai suatu masukan di sebuah negara yang demokratis.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006