Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Republik Indonesia memperketat sejumlah aturan impor barang yang dibeli melalui e-commerce seperti memberlakukan minimum harga barang dan kewajiban lokapasar (marketplace) melapor ke kantor kepabeanan dan cukai setempat.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI pada akhir bulan lalu menerbitkan aturan baru yang salah satunya mengatur batas minimum harga barang yang boleh diimpor langsung melalui e-commerce sebesar 100 dolar AS atau Rp1.560.100 per unit. Nantinya, pengecualian untuk beberapa barang tertentu tetap diberlakukan namun masih dalam proses pembahasan oleh sejumlah kementerian terkait.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam pernyataannya menyebut bahwa aturan itu keluar setelah adanya temuan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh pedagang luar negeri melalui skema predatory pricing atau "banting harga" sehingga dapat menjual barang secara lebih murah dari barang serupa yang dibuat di Indonesia.

Selain itu, banyak barang impor di e-commerce yang ternyata tidak sesuai standar nasional.

Selain itu, Kementerian Keuangan RI pada pertengahan September lalu juga menerbitkan aturan baru terkait perlakuan kepabeanan atas ekspor dan impor yang salah satunya mewajibkan e-commerce melaporkan data katalog elektronik (e-catalog) dan tagihan (invoice) elektronik dari barang kiriman kepada kantor bea dan cukai. Aturan ini mulai berlaku pada pertengahan November 2023.

"Peraturan menteri perdagangan (permendag) ini juga bertujuan untuk mendukung pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dalam negeri dan untuk meningkatkan perlindungan konsumen," Kata pria yang akrab disapa Zulhas itu dalam sebuah konferensi pers pada akhir September lalu.

Dalam sebuah rapat di Istana Negara pada Jumat (6/10), menteri ekonomi menyepakati pengetatan impor sejumlah komoditas yang umumnya banyak dijual di e-commerce seperti pakaian, produk tekstil lainnya, mainan anak hinga suplemen. Impor sejumlah barang itu akan makin diawasi ketat oleh otoritas bea dan cukai. Keputusan lainnya yakni pemerintah berencana membuat tim khusus untuk mengawasi impor.

Pengamat ekonomi digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda memperkirakan berbagai langkah pengetatan yang ditujukan bagi e-commerce hanya efektif menekan impor barang yang sifatnya dikirim langsung dari pedagang luar negeri ke konsumen melalui e-commerce.

Sementara, barang impor yang masuk melalui perantara pedagang lokal mungkin tidak akan terdampak karena e-commerce belum punya fitur yang bisa mengidentifikasi antara barang produksi lokal dan impor. Karena itu, dia menekankan perlu ada sertifikasi yang membedakan produk lokal dan impor yang dijual di e-commerce.

Peneliti sekaligus Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE Indonesia), Mohammad Faisal, menyebut langkah pengetatan itu lumrah ditempuh negara lain sebagai hambatan non tarif menekan impor. Aturan ini bisa berdampak positif bagi UMKM lokal khususnya yang memproduksi barang substitusi impor.

"Beberapa sektor yang bisa diuntungkan di antaranya termasuk industri kecil produsen alat-alat kebutuhan rumah tangga, pakaian dan aksesori, alas kaki, mainan, dan lainnya," ujar Faisal.

Di sisi lain, dia tidak khawatirkan berbagai regulasi itu bisa berdampak terhadap keberlanjutan ekosistem bisnis e-commerce di Indonesia yang kini tengah berkembang pesat seiring meningkatnya tren belanja daring pasca pandemi COVID-19. Aturan ini justru bisa meningkatkan nilai transaksi produk lokal di e-commerce yang nilainya di bawah 100 dolar AS per unit.

Bank Indonesia melaporkan nilai transaksi di e-commerce Indonesia mencapai Rp 467 triliun pada tahun lalu dan diperkirakan menyentuh Rp 533 triliun pada tahun ini. Laporan lembaga riset dan penyedia jasa marketing We Are Social menyebut total 178,9 juta penduduk Indonesia berbelanja barang melalui internet sepanjang tahun lalu. Selesai


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Sella Panduarsa Gareta
Copyright © ANTARA 2023