Jakarta (ANTARA) - Indonesia kembali mengalami kebakaran hutan hebat di tengah musim kering akibat El Nino. Provinsi Sumatera Selatan menjadi wilayah yang paling menderita karena berhari-hari diselimuti kabut asap.

Api juga menjalar hingga ke pinggiran pemukiman dan infrastruktur penting seperti jalan tol. Kerugian ekonomi terjadi di mana-mana serta merambah ke berbagai sektor kehidupan.

Tujuh belas tahun silam sebuah tesis di Universitas Indonesia mengungkap kerugian dari kebakaran hutan mencapai Rp269 juta setiap hektar. Angka itu tentu semakin berlipat-lipat jika disandingkan dengan nilai saat ini.

Riset tentang kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan belasan tahun silam membuktikan bahwa dampak ekonomi kebakaran hutan telah disadari banyak pihak sejak lama.

Namun, persoalan itu selalu berulang-ulang datang membentuk siklus tanpa dapat dicegah. Kebakaran hutan telah menjadi masalah klasik yang sulit diatasi.

Padahal, sejak Juni 2023 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberi peringatan dini kemungkinan kekeringan El Nino pada level sedang. BMKG juga memperingatkan El Nino dapat menimbulkan bencana turunan kebakaran hutan akibat kelalaian manusia.

Musim kemarau memang selalu datang berulang setiap tahun, tetapi fakta juga menunjukkan tidak setiap musim kemarau memicu kebakaran hutan hebat.

Riset di Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, mengungkap terdapat siklus 4 tahunan kebakaran hebat di Indonesia terutama di provinsi yang memilihi hutan gambut seperti Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau.

Kebakaran hebat tersebut membuat kabut asap yang melintasi batas provinsi. Data menunjukkan kebakaran hebat hutan gambut terjadi pada 2015; 2019, dan terulang kembali 2023.

Pola itu dapat menjadi patokan bagi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi untuk melakukan mitigasi bencana kebakaran hutan.

Pola tersebut terbentuk karena distribusi curah hujan berulang membentuk siklus 4 tahun. Curah hujan tahunan setiap empat tahun menurun dari kondisi normal.

Demikian pula jumlah bulan hujan dan jumlah hari hujan menurun dibandingkan kondisi normal. Pola ini sebetulnya sudah diketahui para peneliti hidrologi dan lingkungan di mimbar-mimbar akademis, tetapi memang belum terungkap hingga para pengambil kebijakan yang seringkali berganti.


Pola 4 Tahunan

Pasca-kebakaran hutan 2019, di forum-forum ilmiah penulis seringkali menyampaikan bahwa kemungkinan terjadi kebakaran hebat kembali pada 2023.

Kini kebakaran hutan itu kembali datang tanpa berhasil dicegah. Padahal, pola 4 tahunan itu bukan tidak berdasar. Pada 2015 curah hujan tahunan di bawah 2100 mm. Demikian pula pada 2019. Curah hujan yang rendah itu membuat pasokan air tidak cukup di bulan kemarau sehingga menyebabkan muka air tanah turun di bawah 100 cm dari permukaan.

Dampaknya lapisan tanah berupa gambut setebal 100 cm mengering. Lapisan tersebut bagaikan bahan bakar yang siap terbakar cepat dan menjalar ketika manusia memantik api.

Kondisi tersebut tidak terjadi pada musim-musim kemarau di luar 2015 dan 2019 sepanjang 2015—2022. Di luar tahun itu curah hujan tahunan masih di angka 2500 mm sehingga muka air tanah masih tinggi.

Terbukti kebakaran hebat memang tidak terjadi di provinsi yang rawan kebakaran hutan seperti Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Kemarau yang terjadi di tahun normal maupun tahun El Nino tidak sampai membuat lapisan tanah yang kering sangat tebal.

Musim kemarau akibat El Nino memang tidak bisa dicegah, tetapi pengaturan agar gambut tidak terlalu kering dapat dilakukan manusia melalui mitigasi.

Ketika terjadi kekeringan antara 4 sampai 5 bulan, maka air tanah di lahan gambut dapat turun 1 cm/hari. Ketika tidak ada pengendalian muka air, maka praktis lahan gambut mengalami kekeringan sehingga tebal gambut yang kering dapat melampaui ambang batas yang aman yaitu 40 cm di bawah permukaan tanah.

Fenomena alam itu berjumpa dengan lemahnya pengawasan aparat penegak hukum sehingga di lapangan manusia dengan mudah membakar lahan.

Pola setiap empat tahun ini menunjukkan bahwa kemungkinan pada 2027 akan terjadi kembali kebakaran hutan hebat sehingga dibutuhkan mitigasi.

Pengambil kebijakan berserta pihak terkait diharapkan dapat memobilisasi mitigasi dengan menyusun langkah operasional agar kebakaran tidak terjadi.

Peringatan kebakaran hutan serta tindakan hukum bagi pelanggarnya harus disiarkan secara masif ke masyarakat setiap memasuki kemarau. Demikian pula sekat kanal yang mencegah air keluar dari lahan gambut harus dijaga dan diperbaiki.

Aparat penegak hukum diterjunkan beserta perangkat dan peralatannya. Hanya dengan bersiap, maka bencana akibat ulah manusia dapat dihindari.

Survei para peneliti Universitas Sriwijaya ke sebagian daerah yang saat ini terbakar menunjukkan pada Agustus 2023 lahan masih dalam kondisi hijau karena muka air masih berada di zona 40 cm.

Bahkan, pada Januari sampai Mei muka air tanah masih berada di atas permukaan tanah alias tergenang. Jika mitigasi dilakukan, seharusnya memasuki Mei 2023 sekat kanal harus sudah ditutup untuk mengisi saluran dan konservasi air tanah. Namun, sayang pada tahun ini upaya pencegahan sangat minimal.

Perang terhadap bencana kebakaran setiap 4 tahun sekali harus terus digaungkan. Setiap tahun ketiga digunakan untuk menyiapkan persenjataan berupa infrastruktur dan logistik. Provinsi rawan bencana kebakaran hutan pada 2026 harus mengusulkan ke pemerintah pusat anggaran dana mencegah kebakaran 2027.

Biaya tersebut dapat digunakan untuk supervisi kelengkapan dan fungsional infrastruktur tata air; patroli TNI dan Polri agar oknum usil pembakar lahan dapat dicegah, sosialisasi dan pembinaan ke masyarakat di sekitar hutan gambut. Jika seluruh elemen bersatu padu maka kebakaran hutan gambut niscaya dapat dengan mudah dicegah.


*) Prof. Dr. Momon Sodik Imanudin, SP, M.Si adalah Pengajar di Universitas Sriwijaya dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional.
 

Copyright © ANTARA 2023