Stockholm (ANTARA News) - Para perusuh membakar mobil dan menyerang kantor-kantor polisi di 15 wilayah pinggiran Stockholm yang didominasi penduduk migran pada hari keempat kerusuhan, Kamis, sehingga menghancurkan citra Swedia sebagai negara damai dan egaliter.

Kerusuhan tersebut memicu debat di Swedia mengenai penyesuaian penduduk migran, yang merupakan 15 persen dari jumlah penduduk di negara tersebut, karena banyak diantara mereka kesulitan mempelajari bahasa dan menemukan pekerjaan meski pemerintah sudah menyediakan berbagai program.

Regu pemadam kebakaran mengaku menerima panggilan dari 90 lokasi berbeda dalam satu malam, sebagian besar dikarenakan aksi perusuh.

Pada Kamis pagi, kantor-kantor polisi di distrik Kista dekat pinggir kota Husby dimana kerusuhan berawal pada Minggu (19/5) malam, dilempari batu.

Dua kantor polisi di selatan ibukota Swedia juga dilempari batu.

Di selatan Skogaas, sebuah restoran rusak parah setelah dibakar massa.

Kerusuhan tersebut diduga dipicu oleh tertembaknya seorang warga Husby berusia 69 tahun oleh polisi, karena membawa parang di tempat ramai.

Lelaki tersebut lari ke apartemennya. Menurut polisi mereka sudah mencoba melakukan mediasi namun akhirnya berujung tewasnya lelaki itu akibat tertembak oleh polisi, yang mengklaim tindakan tersebut merupakan upaya bela diri.

Aktivis lokal mengatakan, penembakan tersebut memicu kemarahan para pemuda yang mengklaim selama ini mereka telah menjadi korban aksi brutal polisi.

Pada malam pertama kerusuhan, para perusuh itu mengatakan polisi menyebut mereka sebagai "gelandangan, monyet dan negro."

Dua orang, termasuk seorang polisi dilaporkan terluka dalam kerusuhan tersebut.

Sementara itu pihak kepolisian belum menganggap serius skala kerusuhan tersebut.

"Setiap korban yang terluka adalah tragedi, mobil yang dibakar adalah kegagalan bagi masyarakat... namun Stockholm tidak terbakar. Mari kita lihat situasi secara proporsional," kata wakil kepala polisi Stockholm, Ulf Johansson.

Seorang antropologis sosial pada Universitas Malmoe, Aje Carlbom mengatakan kepada AFP penduduk di kawasan migran mengalami pemisahan.

"Hidup sebagai anak muda di wilayah-wilayah yang terkotak-kotak ini dari berbagai sudut akan sangat sulit. Anda tidak berhubungan dengan warga Swedia lain dan seringkali saya rasa anda tidak memahami dengan baik masyarakat Swedia," katanya.

Swedia dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu negara tujuan utama di Eropa untuk para imigran, baik yang datang dalam jumlah besar maupun kecil.

Ini bukan pertama kalinya negara Skandinavia tersebut mengalami kerusuhan yang melibatkan imigran.

Pada 2010, lebih dari 100 pemuda melempari kantor polisi setempat dengan batu-bata, serta menyerang dan membakarnya, di pinggiran kota Rinkeby dalam aksi yang berlangsung dua hari.

Pada 2008, ratusan anak muda menyerang polisi di kota Malmoe di selatan Swedia, menyusul penutupan pusat budaya Islam yang didalamnya juga berdiri sebuah masjid, di pinggiran kota Rosengaard, demikian AFP.

(S022/H-AK) 

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013