Surabaya (ANTARA) - Kekerasan perempuan dan anak hingga saat ini masih menjadi permasalahan pelik yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat di Indonesia.

Perempuan dan anak sering kali dianggap sebagai objek atau sasaran karena dianggap lebih lemah. Sebab, tidak jarang terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan sekitar. Dampak dari semua itu, bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan dan kualitas generasi selanjutnya.

Selain itu, juga berdampak negatif kepada sumber daya manusia (SDM) berkualitas baik dari sisi ekonomi, pendidikan, sosial, psikologis, dan non-fisik.

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin meningkat setiap tahunnya. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mencatat dalam periode 1 Januari-27 September 2023 ada 19.593 kasus kekerasan yang tercatat di seluruh Indonesia. Data itu dihimpun melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).

Dari seluruh kasus kekerasan tersebut, 17.347 orang korban merupakan perempuan, dan 3.987 korban berjenis kelamin laki-laki.

Adapun berdasarkan usianya, korban kekerasan di Indonesia didominasi oleh kelompok usia 13-17 tahun, jumlahnya mencapai 7.451 korban atau sekitar 38 persen dari total korban kekerasan pada periode ini.

Korban terbanyak berikutnya berasal dari kelompok usia 25-44 tahun, diikuti kelompok usia 6-12 tahun, usia 18-24 tahun, dan usia 0-5 tahun, dengan rincian jumlah terlihat pada grafik.

Kemen-PPPA juga menemukan, jenis kekerasan yang paling banyak dialami korban berupa kekerasan seksual, yaitu sebanyak 8.585 kasus, diikuti kekerasan fisik 6.621 kasus, dan kekerasan psikis 6.068 kasus.


Langgar HAM

Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tindakan pelanggaran HAM yang paling kejam. Oleh karenanya, tidak salah apabila tindak kekerasan oleh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disebut sebuah kejahatan kemanusiaan.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak saja merupakan masalah individu, melainkan juga masalah nasional dan sudah menjadi masalah global.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat terjadi di mana saja seperti di tempat umum, tempat kerja, lingkungan keluarga (rumah tangga) dan lain-lainnya. Dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk juga dari orang tua, saudara laki-laki ataupun perempuan, juga dapat terjadi kapan saja baik siang atau malam.

Terjadinya kekerasan ini disebabkan dari berbagai hal seperti halnya budaya patriarki, ketidakadilan gender, kualitas yang hidup rendah. Lalu pola asuh yang salah, kemiskinan, tayangan media yang tidak mendidik, dan gangguan psikologis-jiwa.

Tidak semua korban kekerasan tersebut mau atau mampu menyatakan keluhannya kepada orang lain. Apalagi melapor kepada pihak yang berwajib. Karena itu, sebagian besar kasus justru tidak dilaporkan atau sedikit yang menyatakannya secara sukarela.

Tentunya perlu edukasi pada korban agar tidak takut dipersalahkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, ataupun pelaku yang mengancam korban untuk tidak melapor.

Untuk itu, jangan menganggap kejadian kekerasan tidak pantas diceritakan pada pihak luar dan jangan merasa kejadian kekerasan/ pelecehan yang dialami adalah kesalahannya sendiri. Maka, stop memandang perempuan/anak sebagai kaum yang lemah atau mudah ditaklukkan


Forum Puspa

Upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak pun terus digalakkan. Semua potensi telah ada untuk mengantisipasi dan memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Pemerintah telah hadir untuk memberikan pencegahan dan perlindungan kepada perempuan dan anak lewat berbagai kebijakan. Meski demikian, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri sehingga perlu adanya peran partisipasi masyarakat untuk turut serta menggaungkan kebijakan yang ada.

Untuk itu, pemerintah melalui Kemen-PPPA mengajak seluruh komponen masyarakat, mulai dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), dunia usaha, media, masyarakat sipil, dan pihak lainnya untuk bersama-sama berpartisipasi dan berkolaborasi dalam mewujudkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 13 Tahun 2021 tentang Partisipasi Masyarakat dalam bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai acuan bagi pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa untuk bersinergi dalam penyelenggaraan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dapat difasilitasi dengan membentuk Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing, baik dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten/kota.

Pembentukan Forum Puspa salah satunya adalah sebagai wadah partisipasi publik untuk menyamakan persepsi dalam mengatasi permasalahan perempuan dan anak. Sejumlah permasalahan itu, mulai dari perdagangan orang (human trafficking), kekerasan, prostitusi, pernikahan usia anak, putus sekolah, eksploitasi dan sebagainya.

Sinergi Forum Puspa dalam mewujudkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak melibatkan pihak-pihak terkait di antaranya, organisasi perempuan akar rumput, LSM, organisasi masyarakat, Forum Anak, organisasi profesi, tokoh agama, tokoh masyarakat, pendamping, relawan hingga pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat.

Upaya membangun sinergi dan kolaborasi ini tentu perlu diwujudkan bersama dengan berbagai pihak. Keanekaragaman peran dan multidisiplin menjadi penting untuk melihat masalah perempuan dan anak dari berbagai sudut pandang guna memberikan solusi yang lebih beragam untuk berbagai masalah.

Salah satu daerah di Indonesia yang sudah membentuk Forum Puspa adalah Kota Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah Kota (Pemkot) setempat telah membentuk sekaligus mengukuhkan Forum Puspa Srikandi di Balai Kota Surabaya pada Kamis, 5 Oktober 2023. Hal itu diperkuat dengan Keputusan Wali Kota Surabaya Nomor 100.3.3.3/ 208/436.1.2 Tahun 2023.

Pembentukan Forum Puspa tersebut, bertujuan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam mensejahterakan perempuan dan melindungi anak di Kota Pahlawan.
 
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi saat memberikan sambutan saat peresmian "Puspa Srikandi" di Balai Kota Surabaya pada Kamis (5/10/2023). (ANTARA/HO-Diskominfo Surabaya)


Dalam forum ini, Pemkot Surabaya tidak hanya sendiri, melainkan ada dari perguruan tinggi, perusahaan dan ahli diikutkan semuanya. Salah satu contoh partisipasi publik dalam lingkup perusahaan, yakni dimana setiap perusahaan harus menyediakan tempat yang ramah bagi ibu menyusui maupun khusus untuk perempuan.

Selain Forum Puspa Srikandi, juga diluncurkan Aplikasi Sistem Informasi Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak (SIAP PPAK). Aplikasi ini bertujuan untuk memberikan pelayanan perlindungan perempuan dan anak sekaligus penguatan ketahanan keluarga.

Jadi mulai dari perundungan  (bullying) sekolah atau kekerasan apapun terhadap anak itu bisa disampaikan melalui apilkasi tersebut. Aplikasi ini sudah masuk menjadi bagian dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Surabaya.

Sistem berbasis laman atau website SIAP PPAK tersebut, juga terintegrasi dengan SSW Alfa, E-Health dan Aplikasi Wargaku. Layanan ini bisa diakses gratis oleh seluruh warga Kota Surabaya melalui https://ppa-dp3appkb.surabaya.go.id.

Jadi kalau ada yang ingin melakukan konseling bisa mendaftar melalui aplikasi SIAP PPAK dan konselornya bisa dipilih. Kalau ternyata dari konselor itu dibutuhkan yang lebih, maka akan dimasukkan konseling yang profesional.

Semoga Forum Puspa ini dapat meminimalisasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Tidak ada ruang di dunia ini untuk kekerasan, terlebih lagi kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Semua perempuan dan anak berhak merasakan rasa aman dan dihargai. Mereka punya hak yang sama untuk hidup, berkreasi, dan bebas tanpa rasa takut. Mari kita dukung satu sama lain dan berjuang untuk dunia yang lebih baik dan adil.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023