Jakarta (ANTARA News) - Semua fraksi di DPR akhirnya menyatakan persetujuan mereka untuk mengesahkan RUU Kewarganegaraan menjadi Undang-Undang, dalam Rapat Paripurna yang dipimpin Wakil Ketuanya dari FPDIP, Soetardjo Soerjogoeritno, Selasa. UU Kewarganegaraan, menurut Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan Slamet Effendi Yusuf yang membacakan hasil kerja Pansus dalam rapat paripurna DPR itu, merupakan pengganti UU No.62/58 mengenai Kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan yang baru itu merupakan produk fenomenal yang menghapus diskriminasi gender dan etnis, kata Slamet. UU Kewarganegaraan yang baru disahkan DPR itu mengubah sejumlah masalah penting seperti pemberian kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang dilahirkan oleh orangtua hasil perkawinan antara WNI dan WNA. UU Kewarganegaraan yang baru disahkan itu juga menghapus perdebatan tentang warganegara Indonesia asli atau bukan, katanya. Slamet menambahkan pasal 2 UU Kewarganegaraan mengatur tentang siapa yang menjadi warga negara, yang dikutip dari pasal 26 UUD 1945 yang berbunyi, "Yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara." Menurut Slamet, pasal 26 UUD 1945 itu diberi penjelasan dalam UU Kewarganegaraan sebagai berikut: bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang bangsa Indonesia asli" adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Sebelumnya, sejumlah kalangan, termasuk lembaga swadaya masyarakat, mengeluarkan kritik terhadap RUU Kewarganegaraan, mereka meminta menangguhkan pengesahan RUU Kewarganegaraan itu menjadi UU. Kaukus Perempuan Parlemen untuk HAM juga menuntut DPR dan pemerintah tidak mengesahkan RUU Kewarganegaraan sebelum diperbaiki. Hal itu disampaikan juru bicara Kaukus Nursyahbani Katjasungkana (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur II), Eva Kusuma Sundari (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Timur V), dan Nadrah Izahari (F-PDIP, Jawa Tengah VIII). Namun, Kaukus Perempuan itu mengapresiasi pansus yang membahas RUU secara terbuka dan menghargai masukan masyarakat Sementara itu Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin mengatakan RUU Kewarganegaraan tergolong progresif. Hal itu terlihat pada ketentuan mengenai status anak hasil perkawinan campuran wanita Indonesia dengan pria asing. Hamid menambahkan, anak hasil perkawinan itu otomatis diperkenankan menjadi warga negara Indonesia sesuai garis warga negara ayahnya. "Adapun untuk perkawinan perempuan Indonesia dengan orang asing, maka si perempuan itu tidak otomatis gugur kewarganegaraannya setelah perkawinan. Di situlah progresifnya RUU Kewarganegaraan," katanya. Ketua Pansus Slamet Effendi Yusuf dalam laporan terakhirnya mengatakan, dalam UU Kewarganegaraan itu juga diatur mengenai kewajiban Pemerintah untuk segera membuat peraturan pelaksanaan UU paling lambat enam bulan sejak UU itu disahkan. (*)

Copyright © ANTARA 2006