Jakarta (ANTARA) - Ahli hematologi dan onkologi anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K) mengatakan bayi yang mengalami anemia defisensi besi (ADB) dapat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasannya dalam jangka panjang.

“Yang paling menjadi perhatian utama dampak jangka panjangnya ternyata bisa mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Apalagi pada bayi, ADB jangka panjang bisa memengaruhi kecerdasannya,” ucap Murti dalam diskusi daring yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan anak yang terkena ADB pada masa pertumbuhan terutama pada bayi, akan berdampak pada susunan saraf di otak, sehingga tahapan tumbuh kembangnya akan tertinggal dan tidak bisa normal kembali meskipun sudah dilakukan stimulasi.

Masa kritis anak mengalami ADB adalah mulai dari bayi baru lahir hingga usia 3 tahun, dimana pertumbuhan fungsi otak sedang berkembang dengan sangat cepat, sehingga diharapkan anak akan tumbuh dan berkembang sesuai usianya dan bisa menghasilkan generasi yang berkualitas.

Anemia sendiri secara umum adalah berkurangnya nilai sel darah merah yang berfungsi mengalirkan darah keseluruh tubuh. Dalam sel darah merah tersebut terdapat zat besi untuk mengikat oksigen yang diperlukan sel darah merah, sehingga metabolisme tubuh dapat berfungsi dengan baik.

Baca juga: Jangan sepelekan masa menstruasi

Baca juga: Kiat hidup sehat untuk penderita anemia


Murti mengatakan angka kejadian anemia di Indonesia paling tinggi disebabkan karena kekurangan kadar besi yaitu sekitar 30-50 persen. Hal ini akan memengaruhi juga kualitas sumber daya manusia suatu negara di kemudian hari. Sehingga sangat penting memperhatikan anak tidak mengalami anemia defisiensi besi atau ADB.

Penyebab paling utama ADB adalah masalah pada kekurangan nutrisi, yang banyak terjadi saat bayi mulai mendapatkan makanan pendamping ASI atau MPASI. Pada masa itu, penting untuk memberikan asupan MPASI yang mengandung besi karena sampai setahun pertama pertumbuhan, bayi akan mengalami peningkatan zat besi untuk mengejar tahapan usia pertumbuhan.

“Ada masa transisi pada bayi dari mulai minum ASI dia harus mulai belajar makanan pendamping. Kita (orang tua) harus selalu bisa bagaimana caranya memberikan makanan MPASI yang sesuai dengan kebutuhan bayi dan usianya,” kata Murti.​​​​​​​

Murti mengatakan masih banyak ibu yang tidak tahu pentingnya memberikan MPASI bernutrisi, sehingga sering kali setelah selesai ASI, cadangan besi menurun dan anak mulai terlihat pucat. Ia menambahkan dalam menyediakan MPASI untuk anak, harus memenuhi semua nutrisi yang mencakup makronutrien seperti zat besi, yang bisa di dapat dalam daging merah.​​​​​​​

ADB rentan pada kelompok remaja putri

Tidak hanya pada saat bayi, risiko ADB juga harus diperhatikan pada kelompok paling rentan yaitu remaja putri, karena secara fisiologis akan mengalami menstruasi setiap bulan.

Dokter yang menamatkan pendidikan S3 di Universitas Indonesia ini mengatakan pada remaja putri harus diperhatikan jika menstruasi terjadi dalam periode lebih dari dua minggu, harus dilakukan terapi dengan suplemen penambah darah.

Baca juga: Kemenkes: Fortifikasi bantu penuhi kebutuhan zat gizi mikro

“Harus hati-hati kalau menstruasinya panjang dan lama itu bisa mengakibatkan anemia defisiensi besi, jika terjadi harus monitor cari tahu penyebabnya,” ucap Murti.​​​​​​​

Suplementasi zat besi penting diberikan pada kelompok remaja putri yang rentan dengan konsumsi selama 3 bulan berturut-turut dalam setahun. Pemberian suplemen penambah darah juga sangat penting agar remaja putri yang nantinya akan hamil dapat melahirkan anak yang sehat dan tidak mengalami ADB.

Muti menjelaskan pada saat wanita hamil, akan ada transfer zat besi pada janin yang dikandungnya. Jika selama kehamilan mengalami kekurangan zat besi, akan terjadi komplikasi saat persalinan dan bayi bisa lahir kurang bulan (prematur).

“Kalau ada pasien berat lahir kurang dari 2500 gram hati-hati anak ini berisiko ADB, pastikan lagi nutrisi dan tumbuh kembangnya apakah bayi tersebut perlu dilakukan pemeriksaan darah di usia tertentu,” tambahnya.

Selain diagnosis dengan pemeriksaan fisik, ADB bisa dideteksi dengan pemeriksaan darah atau hematologi rutin untuk memeriksa hemoglobin, hematokrit, trombosit dan lainnya. Jika kadar hemoglobin turun biasanya anak akan terlihat pucat dan terjadi gejala sesak karena jantung gagal memompa darah keseluruh tubuh.

Jika terdiagnosa ADB akan dilakukan terapi selama 2-4 minggu, termasuk evaluasi dengan perbaikan nutrisi.

Baca juga: Anemia defisiensi besi bisa jadi gejala tunggal alergi susu sapi

Baca juga: Seberapa umum kejadian anemia defisiensi besi di Indonesia?

Baca juga: Berapa kebutuhan zat besi harian Anda?


Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023