Jakarta (ANTARA) - Tahun ini, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur kembali berhadapan dengan ancaman longsor akibat pergerakan tanah.

Peristiwa tanah longsor pada Oktober 2020 masih melekat dalam ingatan tentang dampak serius akibat bencana itu.

Peristiwa nahas yang menimpa warga Jalan Damai, RT 004/RW 012 Kelurahan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, mengakibatkan dua korban luka-luka dan satu korban meninggal dunia.

Korban meninggal dunia merupakan seorang wanita bernama Widiar Nohara berusia 40 tahun, sedangkan dua korban luka-luka perempuan berusia 50 tahun dan 48 tahun.

Kejadian itu akibat pergerakan tanah, sehingga tembok pembatas kali yang tidak mampu menahan tekanan air hujan, yang menyebabkan longsor hebat dan merusak permukiman di bawahnya.

Pada saat itu memang Jakarta di kepung banjir dan intensitas hujan yang tinggi, namun dengan ancaman pergerakan tanah menambah peristiwa longsor di Jagakarsa itu terjadi.

Ancaman itu kembali berulang pada Maret 2023. Tanah longsor pada terjadi pada dua rumah di Jalan Nangka Ujung No. 27 RT005/RW005, Tanjung Barat, Jagakarsa, pada siang hari pukul 12.30 WIB.

Beruntungnya, tidak ada korban jiwa pada bencana yang merampas kerugian hingga Rp1,5 miliar setelah dua rumah yang dihuni dua kepala keluarga (KK) itu rusak berat imbas dari pergerakan tanah di saluran air panel hubung bagi (PHB) utama di wilayah Poltangan.

Camat Jagakarsa Santoso mengatakan peristiwa tanah longsor yang beberapa kali terjadi membuat warga harus belajar cara mengantisipasi bencana untuk menghindari korban jiwa dan kerugian materi yang ditimbulkan.

Penurunan tanah itu benar-benar terjadi, memang tidak langsung, karena dampaknya jangka panjang. Setiap tahun pergerakan permukaan tanah itu ada meski hanya hitungan centimeter.

Kejadian tersebut memicu peringatan keras bahwa perubahan lingkungan dan ketidakstabilan wilayah dapat berdampak besar, dan penting bagi kita untuk belajar dari pengalaman masa lalu untuk menghadapi tantangan di masa depan.


Mitigasi BPDB DKI

Sebagai respons terhadap ancaman ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mengantisipasi pergerakan tanah atau longsor di sejumlah wilayah di Jakarta, khususnya Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, pada Oktober 2023.

BPBD DKI Jakarta telah menyusun potensi gerakan tanah berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) antara peta zona kerentanan gerakan tanah dengan peta prakiraan curah hujan bulanan yang diperoleh dari BMKG.

BPBD DKI Jakarta memetakan wilayah yang berpotensi mengalami pergerakan tanah pada Oktober 2023 adalah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
​​​
Wilayah Jakarta Selatan yang berpotensi longsor berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) adalah Kecamatan Cilandak, Jagakarsa, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Mampang Prapatan, Pancoran, Pasar Minggu, dan Pesanggrahan.

Kemudian Jakarta Timur meliputi wilayah Cipayung, Kramat Jati, dan Pasar Rebo.

Sebagian wilayah yang berpotensi longsor tersebut berada di zona menengah dan zona tinggi. Zona menengah dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan.

Sementara pada zona tinggi, gerakan tanah lama dapat aktif kembali. Karena itu, BPBD DKI Jakarta mengimbau lurah, camat dan masyarakat untuk tetap mengantisipasi adanya potensi gerakan tanah pada saat curah hujan di atas normal.

Khususnya bagi yang tinggal berbatasan pada sekitaran sungai atau yang berada di lereng. Peringatan dini ini rutin diinformasikan setiap bulan kepada masyarakat berdasar sumber dari PVMBG.

BPBD DKI Jakarta sudah menerapkan beragam teknologi terkini untuk mengantisipasi dan menangani bencana di Ibu Kota,​​​​​​ dengan mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Kebencanaan (SIMBA), yang sudah digunakan di semua tim reaksi cepat (TRC).

Meski begitu, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga meminta bahwa BPBD DKI Jakarta harus lebih proaktif dalam menyebarkan informasi lokasi titik-titik rawan pergerakan tanah dan longsor di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Hal itu penting untuk memberikan wawasan kepada masyarakat yang tinggal di daerah yang rentan. Selain itu, BPBD juga dapat merekomendasikan studi kelayakan lokasi-lokasi yang rawan terkait revitalisasi untuk rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR). Jika lokasi tersebut terlalu berisiko, relokasi ke rusunawa terdekat menjadi opsi terakhir.

Tidak hanya dalam hal peringatan dan mitigasi bencana, BPBD DKI Jakarta juga terlibat dalam pendampingan masyarakat yang terdampak oleh longsor atau gerakan tanah serta ancaman longsor. Upaya ini bertujuan untuk menghindari kerusakan bangunan dan kerugian jiwa manusia.

Sementara itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur merespons ancaman pergerakan tanah dengan membuat bronjong atau anyaman dari kawat untuk wadah bebatuan sebagai penahan longsor di beberapa lokasi yang berpotensi terjadi longsor saat musim hujan.

Banyaknya warga yang tinggal di bantaran kali, seperti Kali Sunter, Kali Cipinang, dan Kali Ciliwung yang tinggi dan curam sangat bepotensi terjadi banjir dan longsor saat musim hujan.

Ubtuk tujuh kali yang melintasi Jakarta Timur, pemkot berkoordinasi dengan Sudin Bina Marga, Sudin SDA dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) untuk mengantisipasi longsor.

Pemkot Jakarta Timur juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat perihal antisipasi ketika terjadi longsor. Seperti mengevakuasi warga hingga memastikan pasokan logistik.

Belajar dari peristiwa yang pernah terjadi Pemerintah Kecamatan Jagakarsa terus melakukan pemetaan terhadap wilayah yang berpotensi terjadi tanah longsor.

Wilayah Jagakarsa sering terjadi potensi longsor karena struktur wilayah yang banyak naik dan turun. Kemudian banyak permukiman yang berada di struktur atas dan bawah itu dan dekat dengan aliran Sungai Ciliwung.

Menurut data Sudin SDA juga banyak di Jakarta Selatan yang masih menggunakan air tanah sehingga juga dapat berdampak pada penurunan muka tanah. Hari demi hari terjadi pergeseran dengan dampak panjang akibat air tanah itu.


Eksploitasi air tanah

Bukan sebuah kebetulan kalau ancaman tanah longsor itu terjadi. Salah satu ancaman tanah longsor akibat pergerakan muka tanah saat ini menjadi perhatian serius Dinas Sumber Daya Air (Dinas SDA) Provinsi DKI Jakarta.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, Dinas SDA DKI Jakarta telah mengeluarkan imbauan kepada warga di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur untuk membuat sumur resapan sebagai langkah pencegahan.

Ketua Sub Penyediaan Air Bersih Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Elisabeth Tarigan, mengingatkan pentingnya menjaga lingkungan dan tanah yang menjadi pondasi rumah bagi banyak warga di daerah tersebut.

Penyebab utama dari penurunan tanah di selatan Jakarta, termasuk Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, adalah eksploitasi air tanah yang berlebihan. Penggunaan air tanah yang terus-menerus dapat mengganggu struktur Bumi dan menyebabkan ketidakstabilan tanah.

Dampak yang lebih serius adalah pemisahan antara pondasi bangunan dan bangunan itu sendiri. Kondisi ini telah menjadi nyata dan mungkin tidak disadari oleh sebagian besar warga di selatan Jakarta.

Dinas SDA DKI Jakarta menekankan bahwa daripada mempercantik taman atau teras rumah, sangat penting untuk menyisakan lahan yang dapat digunakan untuk sumur resapan atau penampungan air hujan. Melalui cara ini, warga dapat membantu mengurangi tekanan terhadap sumber daya air tanah yang semakin menipis.

Selain imbauan ini, Dinas SDA DKI juga berkomitmen untuk melakukan sosialisasi bersama Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Jaya (PAM JAYA) selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mengenai alternatif pengganti air tanah dengan mengembangkan air bersih. Upaya itu mencakup pengembangan jaringan perpipaan, penampungan air berskala besar (reservoir komunal), pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), ketahanan air, dan pengolahan air limbah.

Langkah-langkah tersebut tidak akan berjalan lancar tanpa dukungan penuh dari pemerintah, partisipasi swasta, dan masyarakat.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berkomitmen untuk mengendalikan ketersediaan air bersih dengan tujuan menghentikan penurunan tanah atau "land subsidence." Salah satu inisiatifnya adalah perencanaan untuk melaksanakan desalinasi, yaitu proses menghilangkan komponen mineral dari air asin untuk menghasilkan air bersih yang cocok untuk konsumsi atau irigasi manusia.

Selain itu, Dinas SDA DKI Jakarta juga telah mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan air tanah di beberapa lokasi. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Efektif sejak 1 Agustus 2023, aturan ini membatasi penggunaan air tanah di beberapa kawasan strategis di DKI Jakarta.

Kawasan-kawasan yang terkena dampak aturan ini, termasuk Kawasan Industri Pulo Gadung (JIEP) di Jakarta Timur, Kawasan Mega Kuningan, Kawasan Rasuna Epicentrum, dan Kawasan SCBD Sudirman di Jakarta Selatan, serta sejumlah kawasan strategis lainnya.

Penggunaan air tanah di daerah-daerah ini dilarang, dan langkah-langkah, seperti pemasangan pipa air bersih oleh PAM Jaya di beberapa kelurahan di Jakarta telah diambil sebagai langkah konkret untuk mendorong peralihan penggunaan air tanah ke air perpipaan yang lebih berkelanjutan.

Upaya ini harus didukung oleh semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan air minum, dan masyarakat. Hanya dengan kerja sama yang kuat, kita dapat melindungi lingkungan dan melawan ancaman serius seperti penurunan tanah yang terus berlanjut.

Harapannya dengan langkah-langkah itu Jakarta dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan tak sekadar hanya memastikan pasokan air bersih yang memadai untuk penduduknya.

Pemerintah bersama akademisi dan perwakilan warga juga perlu duduk bersama guna membuat peta mitigasi risiko ancaman pergerakan tanah untuk mengantisipasi bencana tanah longsor. Sebab, sebuah kota yang baik adalah tempat yang mampu memberikan investasi dalam masa depan yang berkelanjutan untuk semua warganya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023