"Seandainya tidak ada bambu, tidak akan ada alat musik angklung, sasando, dan lain sebagainya,"
Surakarta, Jawa Tengah (ANTARA) - Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Fitra Arda menyatakan bahwa merawat kebudayaan dimulai dari merawat bumi.

"Hal yang sedang kita upayakan saat ini adalah jalan kebudayaan untuk hidup berkelanjutan, artinya kalau kita merawat bumi, kita juga merawat kebudayaan," kata Fitra di Surakarta, Jawa Tengah, Minggu.

Ia mencontohkan salah satu tanaman bambu yang hampir seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan, baik itu untuk pangan masyarakat maupun untuk melestarikan kebudayaan di Indonesia.

"Seandainya tidak ada bambu, tidak akan ada alat musik angklung, sasando, dan lain sebagainya," ujar dia.

Ia menjelaskan, ada tiga kebijakan baru yang telah ditetapkan oleh Kemendikbudristek, pertama, yakni prinsip pengarusutamaan, dimana pembangunan kebudayaan harus berdasarkan pada kearifan lokal.

Kedua, melibatkan peran masyarakat, artinya pemerintah hanya sebagai fasilitator, karena semestinya dalam pembangunan, masyarakat perlu didengarkan dan ikut mengambil andil dalam pemajuan kebudayaan.

Ketiga, membangun ekosistem budaya, artinya menghidupkan kekhasan budaya yang ada di masing-masing daerah, mengingat ekosistem di Indonesia yang beragam, terdiri dari laut dan darat sehingga harus disesuaikan.

"Jadi budaya itu tidak pernah lepas dari ekosistem alam, tari misalnya, tidak akan ada kalau kain batiknya tidak ada, nah pewarna alami batik tulis itu kan dari alam, musiknya juga, tidak akan hidup kalau tanpa ada gamelan atau kolintang misalnya," tuturnya.

Ia mengutarakan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

UU tersebut merupakan implementasi dari pasal 32 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya."

"Jadi kita tidak ingin artefak yang membentuk kebudayaan Indonesia, melainkan kebudayaan masyarakat kita-lah yang menghasilkan artefak tersebut," paparnya.

Ia juga mengucapkan, pemerintah memiliki instrumen penilaian berupa Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) di tingkat nasional maupun daerah, yang menilai apakah pokok-pokok pikiran tentang pemajuan ekosistem kebudayaan sudah dijalankan dengan benar atau belum.

Indeks ini berpedoman pada penilaian yang telah dikembangkan oleh UNESCO, yang tentunya menyesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika kebudayaan baik di tingkat nasional maupun daerah.

"Ke depan, kita tentu ingin kebudayaan ini sudah tidak lagi berbicara tentang menghabiskan anggaran, tetapi investasi, yakni kebudayaan sebagai pembangunan dasar negara kita ini," demikian Fitra Arda.
Baca juga: Merawat warisan kebudayaan
Baca juga: Indonesia Bertutur refleksi merawat kebudayaan yang berkelanjutan
Baca juga: Tokoh muda NTT ajak merawat kebudayaan lewat lomba pacuan kuda

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2023