Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Brian Sri Prahastuti mengatakan kolaborasi multipihak atau pentahelix sebagai kebutuhan penting dalam upaya penanggulangan penularan HIV/AIDS dan penyakit infeksi menular seksual (PIMS).

Brian mengatakan pemerintah memerlukan dukungan dari sektor lain, seperti akademisi, dunia usaha, masyarakat dan media dalam menanggulangi HIV/AIDS dan PIMS, tidak hanya dari sektor kesehatan.

“Pemerintah tentunya tidak bisa bekerja sendiri. Penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dan PIMS ini juga perlu dukungan dari sektor dunia usaha, akademisi, media, dan tentunya masyarakat dan komunitas," katanya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan pemerintah terus berupaya untuk menanggulangi HIV/AIDS dan PIMS.

Namun, dia mengakui, pencapaiannya masih rendah terutama untuk target pengobatan antiretroviral (ARV) dan supresi virus.

Oleh karena itu, KSP menekankan penguatan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan lima pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, kalangan bisnis, akademisi, komunitas, dan media.

Pada rapat koordinasi di Jakarta, Rabu (18/10), The Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) bersama dengan Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) memaparkan pentingnya kolaborasi pentahelix yang akan melibatkan lima pemangku kepentingan untuk penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS.

Baca juga: Pengidap HIV/AIDS di Jakpus hingga Juni sebanyak 684 orang

Menurut Brian, setelah pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) pada 2017, koordinasi dan sinkronisasi program menjadi kurang optimal.

Hal ini berdampak pada pencapaian target penanggulangan HIV/AIDS dan PIMS di Indonesia yang saat ini dinilai masih rendah.

Ia mencontohkan jumlah orang dengan HIV (ODHIV) yang menjalani pengobatan Antiretroviral (ARV) pada 2023 mencapai 38 persen dan ODHIV yang tersupresi virus masih 35 persen.

"Kendalanya stok ARV di beberapa titik habis. Persoalan ini perlu segera ditindaklanjuti agar target 95 persen untuk pengobatan ARV dan supresi virus untuk ODHIV pada 2030 bisa tercapai," kata dia.

Brian mengatakan pemerintah telah menargetkan “Triple-95” pada 2030 yakni 95 persen ODHIV mengetahui status, 95 persen ODHIV mendapatkan pengobatan ARV, dan 95 persen ODHIV dalam pengobatan ARV mengalami supresi virus.

Untuk mencapai target tersebut, KSP mendorong peningkatan efektivitas intervensi penanggulangan HIV/AIDS melalui optimalisasi fungsi koordinasi, peningkatan kualitas layanan, penguatan kerangka regulasi, dan percepatan implementasi riset menjadi kebijakan.

"Selain itu, komitmen lintas sektor ini perlu terus dijaga. Penanggulangan HIV/AIDS butuh kerja keras dan kolaborasi bersama, tidak hanya sektor kesehatan saja,” kata dia.

Kementerian Kesehatan juga telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan PIMS di Indonesia Tahun 2020-2024. Dalam RAN tersebut, pemerintah juga mencantumkan target penurunan prevalensi insidensi HIV/AIDS dari 0,24 per 1000 penduduk menjadi 0,18 per 1000 penduduk.

Baca juga: Dinkes: Berganti pasangan faktor penular HIV-AIDS terbanyak di Papua
Baca juga: Warga Ambon diajak tak jauhi orang pengidap virus HIV/AIDS
Baca juga: Pemprov DKI perluas tes HIV/AIDS untuk meminimalkan penyebaran


 

 

 

 

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023