Jakarta (ANTARA) -
"Pak, pesanan bubur saya dulu ya, soalnya buru-buru buat bekal anak sekolah." Kalimat tersebut terdengar seperti kartu pas untuk mendapatkan perhatian penjual bubur ayam di antara kerumunan pembeli lain.
 
Adu rebut perhatian penjual bubur ayam memang sudah menjadi pemandangan paling lumrah di pagi hari, baik di komplek perumahan maupun komplek perkantoran.
 
Siapa rebutan, dia duluan menjadi kalimat paling tepat untuk menggambarkan sengitnya pertarungan di balik gerobak penjual bubur ayam.
 
Menariknya, teriakan kalimat serupa juga lazim terdengar di balik gerobak penjual makanan lain yang dianggap sebagai menu sarapan, mulai dari nasi uduk, nasi kuning, lontong sayur hingga nasi pecel.
 
Sarapan kini tak lagi identik dengan kegiatan makan pagi bersama keluarga di rumah. Sarapan kini tak lagi identik dengan kerepotan memasak di dapur usai sembahyang subuh.
 
Lebih parah, sarapan kini tak lagi sebuah keharusan. Gaya hidup serba cepat dan aktivitas yang padat menjadi alasan banyak keluarga melewatkan aktivitas sarapan beberapa tahun belakangan.
 
Amalia (37) menjadi satu dari banyak keluarga tersebut. Sejak kembali bekerja formal, ia sekeluarga tak pernah lagi sarapan bersama di rumah.
 
Demi menghemat waktu, keluarga Amalia terbiasa sarapan di mobil sembari menuju sekolah sang anak ataupun kantor ia dan suami.
 
Demi kepraktisan pula, menu sarapan keluarga Amalia selalu menyesuaikan dengan penjual makanan yang mereka temui di jalan.
 
"Kalau sarapan dulu di rumah bisa kena macet di jalan. Lagipula, banyak yang harus disiapkan kalau harus masak sarapan. Kami biasa bangun jam setengah lima saja sudah terburu-buru," ujar Amalia.
 
Tidak jauh berbeda dengan keluarga Amalia, Dea (35) dan keluarga bahkan kurang terbiasa dengan aktivitas sarapan. Ia hanya membekali anak dan suami dengan menu makanan dari warung nasi Tegal dekat rumahnya yang sudah buka sejak subuh.
 
Kesibukan anak dan suami ditambah jarak tempuh tempat tujuan masing-masing membuat keluarganya tidak sempat sarapan. "Pernah beberapa kali coba masak sarapan, habis makan pada sakit perut karena tidak terbiasa makan di jam pagi begitu. Jadi yauda selalu dibawain bekal saja, nanti kalau mereka lapar ya baru dimakan," katanya.

Pergeseran kebiasaan
 
Pergeseran budaya sarapan itu juga diamini oleh Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat (Dirjen Kesmas Kemenkes) Maria Endang Sumiwi.
 
Hasil survei lapangan yang dilakukan pihaknya menemukan pergeseran kebiasaan sarapan sering kali bermula dari keluarga yang tidak membiasakan atau bahkan tidak sempat menyiapkan sarapan di rumah masing-masing.
 
“Kami melakukan survei ke murid-murid sekolah, ternyata banyak yang hanya makan dua kali saja sehari, tidak sarapan karena katanya tidak sempat atau juga tidak biasa, bahkan ada yang hanya makan satu kali sehari kalau lapar saja,” kata Maria di Jakarta, Selasa (17/10).
 
Kebutuhan yang kian banyak hari ini membuat keluarga menjadi abai terhadap pemenuhan kebutuhan makan tiga kali sehari pada anak.
 
Mengaitkan dengan tumbuh kembang anak, Maria mengatakan hilangnya budaya sarapan jelas membahayakan kesehatan dan perkembangan anak.
 
Salah satunya, banyak anak dan remaja yang kekurangan sel darah merah atau hemoglobin hingga berujung mengalami anemia karena kerap kali melewatkan aktivitas sarapan.
 
Hasil survei pada 2018 menemukan satu dari empat anak berusia 5 sampai 14 tahun mengalami anemia, sedangkan satu dari tiga anak berusia 15 sampai 24 tahun menderita anemia.
 
Angka survei yang demikian tinggi dikarenakan produksi sel darah merah individu sangat bergantung pada seberapa banyak zat makanan yang masuk ke dalam tubuh yang tentu akan berkurang jumlahnya bila melewatkan aktivitas sarapan.
 
Pada saat yang sama, anak dan remaja yang melewatkan aktivitas sarapan seringkali hanya mengonsumsi makanan dan minuman yang rendah gizi karena dirasa lebih enak dan praktis.
 
Akibatnya, pola konsumsi tersebut menjadi faktor lain yang kian menambah angka penderita anemia di kalangan anak dan remaja.
 
Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah kekurangan gizi mikro, seperti mineral dan vitamin. Inilah yang membuat angka penderita anemia tinggi karena sel darah merah dibentuk oleh berbagai zat makanan, termasuk gizi mikro.
 
Dengan kondisi yang demikian, status anemia di Indonesia berada di atas 20 persen sehingga membutuhkan intervensi, seperti pemberian tablet tambah darah yang harus diminum minimal seminggu sekali. Tablet tambah darah ini diberikan dalam setiap penyuluhan.
 
Pemberian tablet itu harus dilakukan sebab sel darah merah bertugas membawa zat gizi ke seluruh sel-sel tubuh. Kekurangan sel darah merah akan menyebabkan anak dan remaja kekurangan gizi sehingga berakibat pada pertumbuhan yang tidak optimal atau stunting.
 
Bukan hanya itu, intervensi dalam bentuk pemberian tablet juga dirasa perlu sebab sel darah merah membawa oksigen yang berpengaruh pada kinerja otak. Dengan demikian, kekurangan sel darah merah tentu menurunkan produktivitas otak yang terlihat lewat penurunan konsentrasi dan daya tahan tubuh anak.
 
Jadi, sarapan menyelamatkan anak dari gangguan kesehatan maupun gangguan pertumbuhan dan perkembangan (stunting).
 
Oleh karena itu, edukasi dan literasi terkait pola makan serta asupan gizi sebagai bagian dari gaya hidup masa kini perlu semakin digalakkan agar dinamika kehidupan tidak sampai mengorbankan kesehatan individu.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023