Pemerintah terus mendorong penggunaan EBT ...
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya memenuhi target rasio elektrifikasi 100 persen di Indonesia melalui sejumlah langkah, di antaranya dengan pemenuhan kebutuhan listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).

Berdasarkan data PLN pada triwulan III 2023, rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,74 persen.

Dari 83.763 desa dan kelurahan di Indonesia, sebanyak 76.679 desa sudah berhasil disuplai listrik oleh PLN, selanjutnya 4.057 desa telah tersambung listrik non-PLN, 2.887 desa menggunakan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE), serta masih menyisakan 140 desa yang belum terjamah listrik.

Desa-desa tersebut mayoritas berada di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di daerah Indonesia bagian timur.

Bertepatan dengan Hari Listrik Nasional (HLN) Ke-78 yang jatuh pada 27 Oktober 2023, PLN menargetkan capaian rasio elektrifikasi nasional sebesar 100 persen pada tahun 2025.

Indonesia, yang merupakan negara kepulauan, memiliki beberapa tantangan dalam upaya pemerataan akses listrik, misalnya, keterbatasan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan lainnya.

Di sebagian besar wilayah, apabila desa induk telah mendapatkan akses listrik, maka pengembangan dan perluasan jaringan listrik dapat segera dilakukan ke wilayah sekitarnya.

Namun demikian, wilayah 3T kondisinya tidak memungkinkan untuk dialiri listrik dengan cara tersebut di atas, ditambah biaya pembangunan infrastruktur yang relatif mahal.

Maka, sistem pembangkit isolated berbasis EBT digunakan sebagai solusi menghadirkan akses listrik di wilayah 3T.

Pembangkit isolated merupakan sistem yang hanya mempunyai sebuah pusat listrik dan tidak ada interkoneksi antar-pusat listrik, serta tidak ada hubungan dengan jaringan umum (interkoneksi milik PLN) sehingga dapat meminimalisasi biaya investasi yang berkaitan dengan transmisi dan distribusi.

Oleh karena itu, Pemerintah terus mendorong penggunaan EBT agar terus ditingkatkan karena Indonesia memiliki potensi energi alternatif yang sangat besar, mulai dari tenaga panas Bumi, biomassa, air, surya, angin, hingga arus laut.

Upaya itu juga sejalan dengan program transisi energi guna mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
Lansekap Desa Teluk Sumbang, Kecamatan Biduk-Biduk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur pada Senin (23/10/2023). ANTARA/Adimas Raditya

PLTS Hybrid Teluk Sumbang

Desa Teluk Sumbang di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, adalah salah satu dari tiga desa yang mendapat akses listrik di luar PLN.
Sejak 2018, Desa Merabu & Mapulu, Desa Long Beliu, dan Desa Teluk Sumbang menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hybrid yang mengintegrasikan tiga sistem pembangkit energi, yaitu solar PV-battery, mikrohidro, dan genset.

Hingga kini, PLTS hybrid berkapasitas total sebesar 1,2 MWp dari tenaga surya dan 30 kW dari mikrohidro di Kabupaten Berau itu dinikmati oleh lebih dari 400 keluarga dan 41 fasilitas umum.

Pengadaan listrik bersumber dari energi terbarukan tersebut merupakan bagian proyek "Off Grid Power Plant” kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Berau, Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia, dan PT Akuo Energy Indonesia.

Pelaksanaan proyek ini melalui skema penyediaan tenaga listrik oleh badan usaha yang memiliki wilayah usaha sendiri berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tata Cara Permohonan Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.

Teluk Sumbang Energi (TSE) selaku operator menyebutkan bahwa PLTS di Teluk Sumbang memiliki kapasitas 540kWp, yang mana jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik lebih dari 250 rumah.

Dari kapasitas tersebut, saat ini TSE melayani sebanyak 207 rumah di Desa Teluk Sumbang yang memiliki luas mencapai 264,23 km2.

“Kami menjual listrik seharga Rp1.460 per kWh,” ujar Direktur Teluk Sumbang Energi Badaruddin.
Fasilitas umum dan perdagangan menggunakan genset sebagai sumber listrik di Desa Teluk Sumbang, Kecamatan Biduk-Biduk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur pada Senin (23/10/2023). ANTARA/Adimas Raditya

Dampak Ekonomi

Selama 51 tahun terakhir, PLTS hybrid tersebut beroperasi selama 24 jam, menggantikan genset diesel milik masyarakat setempat yang hanya bisa mengaliri listrik sekitar 4 hingga 5 jam sehari dengan biaya yang lebih mahal.

Kehadiran jaringan listrik di Teluk Sumbang turut memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat, yang mayoritas bekerja sebagai nelayan tradisional dan di sektor perkebunan.

Warga Teluk Sumbang, Sumiati (50), mengatakan akses listrik sangat membantu usahanya di bidang kuliner.

Produksi makanan ringan miliknya meningkat dua kali lipat dibandingkan sebelumnya, lantaran hampir semua peralatan pengolahan makanan telah menggunakan listrik.

Sumiati yang juga bekerja sebagai Bendahara Teluk Sumbang Energi mengatakan jumlah warga yang mengajukan instalasi listrik baru terus bertambah setiap bulan.

"Sebelumnya semua manual, tapi sekarang pakai pelumat, parutan kelapa, sampai pengemasan pakai alat elektronik semua. Karena sudah ada listrik jadi semangat membuat kue untuk jualan," katanya.

Sementara itu, Kepala Desa Teluk Sumbang, Kecamatan Biduk-Biduk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Kamaruddin mengakui bahwa akses listrik sangat membantu nelayan untuk menyimpan hasil tangkapan ikan dalam kotak penyimpanan (cold storage) dalam waktu yang relatif lama.

Selain itu, juga membantu masyarakat yang berdagang, wirausaha, atau di sektor pariwisata.

Namun demikian, Kades Kamaruddin mengungkapkan harapannya kepada pemerintah agar mengupayakan jaringan listrik PLN dapat masuk ke Teluk Sumbang.

Hal itu karena PLTS hybrid memiliki kapasitas yang terbatas serta penurunan daya baterai yang digunakan, sementara itu jumlah warga yang menggunakan listrik terus bertambah.

Setelah beroperasi selama 5 tahun, PLTS di daerahnya mengalami penurunan kapasitas daya baterai sehingga perlu dilakukan penggantian.

Selama masa penggantian baterai, maka sistem distribusi listrik akan dimatikan secara total sekitar 3 hari.

Kondisi ini membuat masyarakat harus bersabar tanpa akses listrik, sedangkan para nelayan berhenti melaut karena khawatir ikan hasil tangkapan tidak dapat disimpan di cold storage sebelum laku terjual.

Hal ini pernah terjadi pada tahun 2020 ketika sistem PLTS mengalami kerusakan komponen sehingga memerlukan perbaikan selama beberapa waktu.

Pada saat itu, masyarakat kembali memanfaatkan genset diesel masing-masing untuk memenuhi pasokan listrik.

Dampak ekonomi lainnya turut dirasakan masyarakat yang memiliki usaha pariwisata dan penginapan.

Wisatawan dinilai enggan untuk menginap dan tinggal lebih lama di Teluk Sumbang karena selain tidak stabilnya pasokan listrik, wilayah ini juga tidak terjangkau oleh sinyal operator seluler.

“Usai pandemi COVID-19, kami memacu sektor pariwisata yang menjadi potensi daerah. Akan tetapi kalau jaringan internet dan listriknya tidak stabil, pasti akan berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan,” kata Kamaruddin.

Masalah inilah yang harus segera dicarikan solusinya, agar lingkungan tetap terang dan bisnis warga tetap berkembang.




















 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023