.. kami telah mencoba menata ulang wayang dengan mengeksplorasi medium kertas, cerita, dan musik..
Jakarta (ANTARA) - Museum MACAN menghadirkan penampilan perdana dari Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang oleh Jumaadi dan The Shadow Factory bersamaan dengan pembukaan pameran terbaru, Voice Against Reason.
 
Pertunjukan wayang yang inovatif ini menampilkan ratusan wayang kertas dalam berbagai ukuran dan bentuk. Setiap wayang kertas mewujudkan sebuah potongan peristiwa, dan dimainkan secara terampil oleh dua orang pawang bayang-bayang di atas dua mesin overhead projector (OHP), diiringi dengan musik eksperimental.
 
Karya tersebut diadaptasi dari kisah 823 pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digoel, Papua, pada tahun 1926.
 
Di tengah kesulitan yang melanda, para pejuang ini beralih pada musik dan seni untuk mempertahankan semangat hidup. Mereka menggunakan perkakas seadanya, seperti paku, bilah cangkul, kaleng kosong, rantang, dan peralatan makan untuk menciptakan seperangkat gamelan.

Baca juga: Kisah Laksamana Malahayati dari Aceh diangkat jadi pertunjukan teater
 
Pada tahun 1942, setelah Jepang mengambil alih Hindia Belanda, para pejuang ini dilarikan ke Australia dan memboyong gamelan ini ke sana. Setelah kemerdekaan, sebagian dari para pejuang kembali ke tanah air. Namun, nasib sebagian besar dari mereka tidak diketahui karena kisahnya tidak banyak diceritakan lagi.
 
Melalui perpaduan seni visual, musik, dan puisi, Jumaadi dan the Shadow Factory, membayangkan kembali pertunjukan wayang kulit di masa kini dengan menghadirkan karya inovatif yang jenaka, mengusik, tetapi terasa akrab dengan kita.
Pertunjukan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang oleh Jumaadi dan The Shadow Factory (ANTARA/H.O Museum Macan)
 
Eksplorasi medium kertas dan musik mengajak kita merasakan keindahan yang syahdu dan melihat bagaimana seni mendorong kita untuk bertahan hidup.
 
Jumaadi mengatakan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang adalah sebuah kisah tentang bertahan hidup, bagaimana seni dan keindahan menjadi penting bagi umat manusia.
 
Pengunjung akan menyaksikan kisah akan migrasi dan perpindahan, gagasan-gagasan tentang keindahan dalam ketangguhan, menemukan keberanian, dan kebebasan berekspresi. Namun karya ini juga memunculkan pertanyaan tentang relevansi wayang di era digital ini.

Baca juga: Penampilan dinamis 203 penari di Sabang Merauke "Pahlawan Nusantara"
 
"Selama 1,5 tahun terakhir mengembangkan proyek ini, kami telah mencoba menata ulang wayang dengan mengeksplorasi medium kertas, cerita, dan musik, dan kami dapat menyajikan pertunjukan langsung dengan ratusan guntingan kertas dalam berbagai bentuk dan ukuran," ucapnya dalam keterangan yang diterima, Jumat.
 
Pertunjukan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang berdurasi 45-60 menit. Pertunjukan ini mengandung unsur kekerasan dalam sejarah dan cocok untuk segala umur, dengan bimbingan orang tua untuk anak-anak.
 
Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang merupakan pertunjukan terbatas pada 18-26 November 2023.
 
Sementara itu, Voice Against Reason adalah pameran besar yang melibatkan 24 perupa dari Australia, Bangladesh, India, Indonesia, Jepang, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.

Pameran kelompok ini menampilkan karya-karya baru yang dikomisi, proyek-proyek terbaru dari sejumlah perupa kontemporer terkemuka, serta karya-karya kontemporer yang berdialog dengan karya seni bersejarah dari periode modern Indonesia.

Baca juga: Semarang siap gelar Festival Wayang Orang Indonesia 2023

Baca juga: Pertunjukan musik dan tarian Indonesia pukau penonton di Beijing

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023