Jakarta (ANTARA) -
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terus memperkuat peran tim pendamping keluarga (TPK) melalui pelatihan di wilayah Indonesia bagian Timur untuk menyasar calon pengantin dan keluarga berisiko stunting.
 
"Ini adalah upaya taktis yang menyentuh akar rumput di lapangan agar dapat berjalan dengan baik. Salah satu instrumen penting adalah para mentor memberikan edukasi dan pendampingan kepada TPK sejumlah 600 ribu di Indonesia untuk memasifkan kegiatan pada level lini lapangan," ujar Sekretaris utama BKKBN Tavip Agus Rayanto dalam keterangan di Jakarta, Senin.
 
Pelatihan dan pendampingan mentor TPK untuk menyasar calon pengantin dan keluarga berisiko stunting pada 29 Oktober-5 November 2023, dengan peserta yang berasal dari regional Timur Indonesia yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
 
Tavip menegaskan pentingnya fase kehidupan dari sebelum menikah, hamil, hingga pascapersalinan dalam penanganan stunting yang dapat dipantau melalui aplikasi Elektronik siap nikah dan siap hamil (Elsimil).
 
"Data calon pengantin di semua provinsi dapat dengan mudah didapatkan, setiap daerah bisa memproyeksikan. Kemudian dari data yang ada, dapat dilakukan deteksi awal pada Elsimil untuk mengetahui status kesehatan calon pengantin," katanya.
 
Menurut Tavip, TPK perlu fokus mendampingi calon pengantin dengan status kesehatan yang belum baik, mengingat 80 persen calon pengantin ketika sudah menikah akan langsung hamil.
 
"Dengan adanya deteksi awal, maka dapat mencegah calon bayi-bayi stunting baru. Di sini kita berikan intervensi sampai calon ibu siap hamil dengan sehat, karena kalau anak sudah terlanjur lebih dari usia 2 tahun, maka intervensinya menjadi lebih sulit untuk mengoreksi ke kondisi normal," ucap Tavip.
 
Ia menyebutkan, khusus untuk intervensi stunting, BKKBN memiliki sumber data dari pendataan keluarga yang terus diperbarui setiap tahun.

"Untuk intervensi stunting, BKKBN memiliki sumber data dari pendataan keluarga yang diperbarui setiap tahun. Di situlah muncul data keluarga berisiko stunting dengan berbagai indikator, maka kita bisa fokus identifikasi secara akurat, kemudian intervensi dengan melakukan pendampingan sesuai faktor risikonya," tuturnya.

 
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi NTB  Lalu Makripudin, menyebutkan bahwa kualitas sumber daya manusia bisa dibentuk dan ditingkatkan.

"Ada anggapan yang keliru bahwa stunting itu takdir, padahal bisa kita cegah. Itulah yang namanya kualitas SDM bisa kita desain, tentunya dengan intervensi," kata Lalu.
 
Ia menjelaskan, ketika TPK di lapangan mengalami kesulitan pendampingan, diharapkan para mentor bisa langsung memberikan pembinaan.
 
"Merekalah  yang melihat langsung kondisi keluarga berisiko stunting, jika ini berhasil maka angka stunting akan berhasil diturunkan sesuai target 14 persen," ujarnya.
 
Lalu mengatakan, Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di NTB memiliki jargon "Gaspol" yang merupakan akronim dari "Gerakan atasi stunting secara profesional melalui organisasi dan langsung melayani".
 
Sejalan dengan Lalu, Asisten Daerah bidang Administrasi Umum Provinsi NTB, Wirawan, juga berharap dari pelatihan ini nantinya calon pengantin mendapatkan pendampingan sehingga tidak terjadi pernikahan dini yang mengakibatkan tingginya angka stunting.
 
Dirinya menyebutkan, pendampingan di provinsi NTB bisa dimaksimalkan karena terdapat banyak program posyandu keluarga sebagai pusat informasi yang menyosialisasikan, mendampingi, dan mengedukasi masyarakat terhadap pencegahan stunting.

Baca juga: 126 kader Posyandu diedukasi soal pencegahan stunting
Baca juga: Menkes: Masalah stunting harus diselesaikan seluruh komponen bangsa

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023