Menurut Manajer Riset TII Arfianto Purbolaksono, ancaman sanksi berat menjadi satu dari tiga langkah yang perlu dilakukan pemerintah dalam menjaga netralitas selama periode tahun politik yang mencapai puncaknya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
“Sosialisasi kebijakan terkait netralitas aparatur negara diikuti dengan pengaturan sanksi dan penerapannya secara baku dan jelas sesuai peraturan perundang-undangan untuk memberi kepastian hukum atas pelanggaran terhadap (aturan) netralitas,” kata Arfianto di Jakarta, Selasa.
Dia menekankan sanksi itu harus berupa hukuman yang berat sehingga dapat menjadi efek jera sekaligus menyurutkan niat mereka yang ingin melanggar aturan.
Tidak hanya itu, kata dia, dua langkah lainnya yang perlu ditempuh pemerintah adalah mengusulkan sosialisasi terkait netralitas agar dilakukan secara masif.
“Bawaslu, Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Komisi ASN, dan Kompolnas untuk meningkatkan sosialisasi kepada aparatur birokrasi, TNI, dan Polri tentang pentingnya netralitas pada Pemilu 2024 khususnya pada masa kampanye,” kata pengamat kebijakan publik itu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan masa kampanye berlangsung pada 28 November 2023–10 Februari 2023. Tahapan pemilu, khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 saat ini menunggu penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden oleh KPU pada 13 November 2023.
Baca juga: Wapres Ma'ruf tegaskan ASN harus netral pada pemilu
Baca juga: Kemendagri jelaskan sanksi untuk ASN yang tak netral jelang pemilu
Kemudian, langkah ketiga yang diusulkan oleh TII, Arfianto menyampaikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu meningkatkan pengawasan selama masa kampanye terutama terhadap anggota TNI, Polri, dan para birokrat.
“Bawaslu pusat hingga daerah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan selama kampanye Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Pengawasan tersebut perlu dilakukan lewat kolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil dan media massa,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Arfianto menyampaikan pemerintah perlu menunjukkan secara tegas sikap netral pada tahun politik ini mengingat pasangan calon yang berkompetisi merupakan para pejabat dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah.
Oleh karena itu, The Indonesian Institute for Public Policy Research memuji langkah Presiden RI Joko Widodo yang mengumpulkan para kepala daerah dan memerintahkan secara langsung kepada mereka untuk berlaku netral. Presiden menyampaikan instruksi itu di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (30/10).
“Hal itu dilakukan untuk menjawab kekhawatiran publik terkait netralitas Presiden karena keikutsertaan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan yang berpasangan dengan Prabowo Subianto,” kata Arfianto.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerima pendaftaran tiga pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden untuk Pilpres 2024, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud Md, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Pasangan Anies-Muhaimin diusung oleh Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Ummat.
Pasangan Ganjar-Mahfud diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Terakhir, pasangan Prabowo-Gibran diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Garda Republik Indonesia (Garuda), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA).
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023