Harapannya kita bisa memproduksi beras lebih sehat dan berkelanjutan dalam budidaya dan dalam konsumsi masyarakat Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Pemangku kepentingan padi-perberasan bernama Kelompok Kerja Nasional/National Working Group mengusung konsep beras berkelanjutan bernama Sustainable Rice Platform (SRP) sebagai salah satu upaya mencukupi kebutuhan produksi beras dalam negeri.

“Ini menjadi platform yg bersinergi mulai dari pembudidaya dan pasarnya. Harapannya kita bisa memproduksi beras lebih sehat dan berkelanjutan dalam budidaya dan dalam konsumsi masyarakat Indonesia,” kata Vocal Point NWG Nana Suhartana pada acara Diskusi Publik SRP dan Beras Berkelanjutan di Jakarta, Rabu.

Nana menjelaskan SRP merupakan komunitas internasional di Indonesia yang akan didorong menjadi bagian dari pemangku kepentingan dalam negeri. SRP sendiri terdiri atas kelompok tani, petani, perusahaan pemasaran yang juga didukung oleh pemerintah daerah.

“Keberadaan NWG merupakan langkah penting untuk kolaborasi hadirnya sinkronisasi standard global dan SRP Chapter Indonesia. Dengan adanya NWG dan Chapter ini maka diharapkan ke depan praktik beras berkelanjutan dapat terwujud melalui program-program kerja tahunan,” ucapnya.

Salah seorang petani yang tergabung dalam Koperasi Pemasaran Aliansi Petani Padi Organik Boyolali (Appoli), Dadang Tribowo mengaku telah mulai mengembangkan pertanian berkelanjutan SRP sejak 2019.

Kegiatan yang dilakukan di antaranya adalah melakukan demo plot dan melakukan sosialisasi ditingkat kelompok.

Baca juga: Perpadi: Beras komersil Bulog harus digelontorkan masif agar berdampak

Baca juga: BSIP: Pertemuan IRRI di Bali bahas produktivitas dan kualitas beras


Dadang menjelaskan dalam prinsip berkelanjutan, sangat bahaya bagi petani untuk menggunakan pestisida dan pupuk dalam waktu yang lama apalagi secara berlebihan. Melalui konsep SRP, petani bisa menghemat penggunaan pupuk sekitar 30 persen.

SRP juga bisa membantu petani mengatur pemakaian air agar sesuai pertumbuhan tanaman yang juga membawa manfaat baik dalam mengurangi efek gas rumah kaca.

“Petani sadar bahwa tidak selamanya tanaman itu butuh air, ada yang harus dikeringkan. Mulai dari panen itu sudah tidak membutuhkan air. Tanaman itu tidak harus selalu ada airnya karena tanaman itu butuh bernafas untuk menumbuhkan tanaman tersebut,” jelasnya.

Manfaat lain yang bisa didapatkan petani dengan menggunakan SRP adalah peningkatan produksi padai sekaitar 25-30 persen. Lalu rata-rata panen ubinan dari yang awalnya 6-7 ton per ha menjadi 8-9 ton per ha. Diakui Dadang beras hasil SRP juga disukai perusahaan penggilingan beras karena lebih sehat dan memiliki rendemen yang lebih bagus.

Menanggapi upaya beras keberlanjutan, Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa dan Sumber Daya Alam, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah menilai SRP menjadi media untuk berkomunikasi dan menyampaikan kontribusi dari masyarakat dan mendorong sustainability.

Menurutnya, penerapan SRP harus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah dan petani itu sendiri agar membawa manfaat yang lebih maksimal. Nantinya beras hasil SRP bisa dikategorikan sebagai beras organik yang memiliki harga khusus dan segmen pasar tersendiri.

“Semoga ini bisa mendorong kesejahteraan petani melalui platform ini. Selain itu kita perlu mengajak market-nya atau pasarnya sesuai dengan ketentuan. Dengan adanya platform membantu sinergi antara petani, pemerintah, dan market”, kata dia.

Baca juga: Perpadi usulkan harga acuan pembelian gabah naik jadi Rp6.500 per kg

Baca juga: BSIP optimis target 35 juta ton produksi padi bisa tercapai


Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023